kompasianer siapa nih yang disini millenial? Yuk baca artikel ini selengkapnya.
Di era digital itu yang ditandai dengan derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi informasi nyatanya menjadi salah satu rintangan bagi negara Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajuan teknologi di era digital memfasilitasi kebudayaan asing masuk ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Budaya dari luar yang masuk melalui teknologi digital dapat dengan leluasa memberikan pengaruh terhadap pola pikir maupun kebiasaan masyarakat.
Kehadiran era digital di tengah kehidupan memiliki potensi yang besar dalam memengaruhi budaya lokal setempat. Fenomena ini diperparah lagi dengan persoalan yang menyangkut kedaulatann pada suatu negara, seperti halnya kejadian setelah orde baru tahun 1998 dimana pada saat itu muncul berbagai macam ideologi yang bertolak belakang dengan ideologi Pancasila yang pada saat itu ditetapkan pemerintah. Tak hanya itu nuncul berbagai konflik lainnya, misalnya konflik antar suku, ras, agama, bahkan terjadi aksi radikalis yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, hingga aksi terorisme.
Dalam artian singkat, berbagai gejolak persoalan yang terjadi di Indonesia tak lepas dari pengaruh kemajuan teknologi yang secara eksplisit mengubah atau memengaruhi pola pikir masyarakat. Persoalan tersebut dapat mengancam jiwa nasionalis yang selama ini dipegan teguh masyarakat dan Indonesia pun mau tidak mau harus menangani berbagai persoalan yang terkait dengan nasionalisme. Walaupun yang seperti kita ketahui persoalan itu tidak serta merta berakibat langsung pada kondisi nasionalisme di Indonesia. Permasalahan yang telah dijelaskan di atas jika dibiarkan terus terjadi akan menggerus rasa nasionalis masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan era digital dapat membuka pemikiran atau pandangan masyarakat secara luas.
Namun, pada era digital kemajuan teknologi lebih berdampak negatif pada masyarakat khususnya anak muda atau yang biasa dikenal dengan generasi milenial. Dimana generasi milenial semangat nasionalismenya mulai berkurang dari tahun ke tahun. Memudarnya jiwa nasionalis di kalangan generasi milenial telah berdampak besar bagi kelangsungan hidup masyarakat. Fenomena ini ditandai dengan kurangnya disorientasi dan keterlibatan generasi milenial dalam berbagai kegiatan baik ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Hal tersebut terjadi tak lepas dari pengaruh kemajuan teknologi di era digital. Kemajuan teknologi menyebabkan generasi milenial lebih mementingkan kepentingan pribadi dibanding dengan orang lain. Tak hanya itu, generasi milenial juga cenderung tidak peduli dan engga mencari tau persoalan – persoalan yang sedang terjadi di negara.
Lebih parahnya lagi di era digital generasi milenial semakin banyak yang enggan untuk berpartisipasi memeriahkan ajang pemilihan umum. Kejadian ini tak lepas dari memudarnya rasa nasionalisme dan kebangsaan sebagian besar generasi milenial, memudarnya rasa cinta terhadap tanah air ini dilihat dari minimnya pemahaman remaja akan nilai-nilai budaya. Remaja sekarang lebih cenderung mengikuti budaya barat yang sangat jauh perbandingannya dengan norma dan adat istiadat bangsa Indonesia. Remaja sekarang lebih senang dengan hal-hal dan produk-produk impor dibanding dengan produl lokal sendiri (Widiyono, 2019). Berawal dari persoalan tersebutlah yang membuat para generasi milenial tidak memiliki keinginan memilih pada pemilihan umum yang akan diselenggarakan.
Generasi milenial terkenal tidak mau peduli dengan segala permasalahan yang terjadi dalam dunia perpolitikan, sehingga menyebabkan mereka tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemiluhan umum. Padahal seharusnya suara hak pilih yang diberikan generasi milenial sangat berpengaruh bagi kestabilan politik maupun kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Data dari EACEA (2012) menyebutkan generasi ini relatif sangat sedikit yang mau bergabung dalam partai politik. Mereka juga cenderung memilih menjadi warga negara yang tidak ikut menggunakan hak pilih mereka dalam Pemilu. Pirie dan Worcester (1998) mengatakan generasi ini sering mengalami putus hubungan dengan komunitasnya serta tidak berminat pada proses dan persoalan politik. Mereka juga memiliki tingkat kepercayaan yang rendah pada politisi serta sinis terhadap berbagai lembaga politik dan pemerintahan (Haste dan Hogan, 2006).
Pada era digital, generasi milenial juga banyak yang beranggapan bahwa hal yang terkait dengan politik tidak terlalu penting untuk dibahas sehingga suara mereka tidak terlalu dibutuhkan dalam ajang pemilu. Masyarakat milenial hanya mendapatkan informasi tentang politik melalui media online dan televisi. Mereka tetap mengikuti informasi maupun permasalahan yang terjadi dalam dunia politik, namun generasi milenial tidak mau turun langsung dalam berpartisipasi. Terlebih lagi untuk mendaftar menjadi bagian aktif anggota dari suatu partai politik, begitupun halnya generasi milenial juga engga mendukung atau berkontribusi dalam menentang kebijakan politik yang telah ditetapkan oleh pemerintah setempat.
Meski demikian mayoritas generasi milenial tetap akan memberikan suara dalam Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden Indonesia. Walaupun jika berkaca dari data yang ditemukan bahwa tingkat keikutsertaan dan keterlibatan millenials dalam menjaga keamanan dan ketertiban Pilkada didapati cukup rendah, di angka 40% saja. Dan keikutsertaan dalam kampanye cendrung sangat rendah, karena hanya 16% saja dari generasi millenials yang ikut berkampanye mendukung salah satu calon dalam pilkada Kabupaten Tanah Datar. Dari sisi perilaku pemilih millenial ini bisa disimpulkan bahwa hanya agama yang memberikan pengaruh cukup tinggi bagi generasi milenial untuk memengaruhi mereka dalam menentukan pilihan dalam pemilihan umum (Pemilu). Perilaku ini berbeda jauh dengan pengaruh dari factor teman, orang tua, jenis kelamin, dan daerah asal, yang semuanya berada di level cukup rendah dan rendah. Artinya Generasi millennial sudah mampu menentukan sikapnya sendiri dan mandiri dalam berpandangan, tanpa harus dipengaruhi oleh pihak lain diluar diri mereka.
DAFTAR PUSTAKA