Mengenal Allah SWT atau ma’rifatullah adalah ilmu yang paling utama dan menjadi sumber dari segala ilmu pengetahuan. Karena lemahnya pengenalan terhadap Allah, banyak di antara manusia dalam berakhlak kepada Allah SWT, tidak bisa menghargai Allah dengan penghargaan yang semestinya.
Banyak manusia yang mengakui keberadaan Allah SWT, namun dalam prakteknya manusia lebih menghargai pimpinannya, atasannya, atau bahkan asal keturunannya ketimbang Allah. “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.”. (QS. Az-Zumar: 67).
Orang-orang musyrik tidak mengetahui dan tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya, karena mereka tidak mengenal Allah bahkan menyekutukan-Nya dengan makhluk yang lain. Padahal bumi, dengan segala isinya, berada dalam genggaman-Nya pada hari kiamat. Sementara langit, dengan seluruh lapisannya, terlipat di tangan kanan-Nya. Allah Mahasuci dari segala kekurangan, dan Dia Mahatinggi dari apa saja selain Dia yang dipersekutukan dengan-Nya.
Untuk lebih mengenal Allah SWT, jalan yang bisa ditempuh dan yang sesuai dengan fitrah manusia ialah petunjukNya dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW. Meskipun tidak sedikit manusia mengambil jalan yang lain seperti kepercayaan terhadap benda-benda atau makhluk yang lain yang disakralkan.
Sebetulnya cara Islam sangat sederhana, sehingga mudah dipahami, didasarkan pada keimanan yang murni dan keyakinan yang bersih dari prasangka-prasangka. Inilah yang kemudian diyakini oleh Abu Bakar As-Sidiq, katanya, “Aku mengenal Rabbku melalui perantaraan Rabbku, seandainya Rabbku tidak mengenalkan diriNya padaku, aku tidak akan mengenal Rabbku.”
Jadi jalan Al-Qur’an dan As-Sunah itulah yang dimaksud oleh Abu Bakar As-Sidiq. Mengenal Allah tidak serumit memecahkan rumus-rumus matematik, tidak sejelimet teori-teori filsafat, cukup dengan mengedepankan aspek fitrah kemanusiaannya, manusia bisa mengenal Allah SWT. (QS. Luqman: 25).
Keimanan terhadap wahyu, akan membimbing manusia untuk bisa lebih mengenal Allah melalui dua fenomena, yaitu pertama melalui ayat-ayat Kauniyah yang terdapat di dalam alam semesta. Karena semua bentuk penciptaan alam dengan segala aktivitasnya merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang menggunakan akalnya. Akal berpikir karena digerakkan hati, dan inti dari hati adalah fitrah yang sudah dibekali pengenalan terhadap Allah. (QS. Al-A’raaf: 172). Kedua melalui ayat-ayat Qouliyah yang merupakan penjelasan Allah tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia dan hakikat alam semesta. Ayat-ayat ini telah terhimpun dalam bentuk Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW (QS. Ali Imran: 190-191).
Dari itu, untuk mengenal Allah manusia tidak pelu mempelajari substansi Allah atau eksistensi Allah. Tetapi mempelajari ciptaan-ciptaan Allah melalui bimbingan Al-Qur’an. Itulah metoda dzikir dan fikir yang paling khas dimiliki oleh ajaran Islam yang bersumber dari wahyu yang terpelihara. Kata Rasulullah SAW, “Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berpikir tentang dzat Allah. Karena kamu tidak akan sanggup memikirkannya.” (HR. Abu Dawud).
Mengenal Allah SWT merupakan asas perjalanan ruhiyyah manusia secara keseluruhan. Orang yang mengenal Allah SWT akan merasakan hidupnya lapang, tenang, dan optimis. Itulah puncak kesadaran yang menentukan perjalanan hidup seorang hamba menuju Tuhannya.
Dengan mengenal Allah, seorang hamba dapat mengetahui tujuan hidup yang sesungguhnya serta dapat merasakan nikmat yang sangat besar, dia hidup dalam rentangan panjang antara sabar dan syukur. Ketika mendapat cobaan ia bersabar, sehingga Allah memberikan kenikmatan yang tanpa batas (QS. Az-Zumar: 10), dan ia bersyukur ketika memperoleh nikmat, maka Allah akan menambah nikmat itu.(QS. Ibrahim: 7).
Begitulah, tidak ada keburukan bagi orang yang mengenal Allah SWT. Dari sisi mana saja, ia akan selalu memperoleh kebaikan. (*)