Lihat ke Halaman Asli

Dandung Nurhono

Petani kopi dan literasi

Antisipasi Kemiskinan Spiritual

Diperbarui: 30 Maret 2023   05:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit di atas Pahawang | Foto: Dandung (Dok. pribadi)

Jika menyoal kemiskinan dapat dipastikan tertuju kepada orang-orang yang secara material tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Bahkan kemudian banyak lembaga independen yang melakukan survei terhadap tingkat kemiskinan di suatu daerah atau negara tertentu. 

Namun, pernahkah anda mempunyai data tentang tingkat kemiskinan spritiual masyarakat di daerah tertentu ? Sepertinya belum pernah ada yang melakukan pendataan tentang masalah ini. Padahal, kemiskinan spiritual sebenarnya justru lebih berbahaya dari kemiskinan material.

Efek dari kemiskinan spiritual akhir-akhir ini banyak kita saksikan di berbagai tempat, penyimpangan perilaku hedonisme karena kekosongan spiritual, tidak hanya di kota-kota besar bahkan hingga ke pelosok-pelosok desa pun banyak terjadi. Ada sebagian masyarakat yang bergelut dengan kemiskinan material, banyak juga orang kaya yang saat ini mengalami kemiskinan spiritual. 

Hal itu bisa dilihat dan berefek pada perilaku yang ditampakkan sehari-hari. Tidak hanya terlihat pada pribadi, namun juga terjadi kepada masyarakat. Kemiskinan harta benda itu sulit diatasi. Namun, menanggulangi kemiskinan spiritual lebih rumit lagi. 

Banyak orang yang cepat sadar dan mengaku bahwa dirinya miskin material, apalagi ketika akan memperoleh bantuan sosial (bansos), tiba-tiba banyak yang mengaku miskin. 

Berbeda dengan kesadaran kemiskinan spiritual yang sulit muncul di benak manusia. Mereka merasa baik-baik saja, padahal orang lain melihat dirinya sudah melampaui batas dan tidak wajar. Perilaku sombong, kikir, serakah, maksiat kerap kali ditunjukkan. Bahkan, mereka sebenarnya sudah sadar, namun malah berbangga diri dengan sikap buruk yang ia dilakukan tersebut.

Dari Ka’ab bin Malik Al-Anshari ra. dari Nabi SAW, bahwasanya beliau bersabda: “Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas, menuju seekor kambing, (maka kerusakan yang terjadi pada kambing itu) tidak lebih besar dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang yang ditimbulkan akibat ambisi terhadap harta dan kehormatan.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya, Imam Tirmidzi berkata (tentang) hadits ini: “Hasan shahih”.)

Hadis ini berisi pesan moral tentang kerusakan pada nilai spiritual seorang muslim dengan sebab ambisi terhadap harta dan kehormatan di dunia, melebihi kerusakan yang terjadi akibat perebutan makanan oleh dua ekor serigala.

Seorang ulama kontemporer, Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fatwa-fatwa Mutakhir menggambarkan secara tepat ciri-ciri perkembangan zaman pada saat ini. Menurutnya, betapa hebatnya karakter kebendaan kerohanian, egoisme mementingkan diri sendiri telah mengalahkan kemaslahatan orang banyak, bahkan pertimbangan nilai untung-rugi mengalahkan pertimbangan akhlak mulia. 

Betapa banyaknya saat ini kita dihadapkan pada bujukan dan dorongan nafsu yang dapat membuat kita melakukan tindak kejahatan. Disamping itu tak terhitung banyaknya halangan yang merintangi manusia untuk berbuat kebajikan. Dalam situasi yang sedemikian kisruh, orang-orang yang teguh memegang nilai-nilai agama, akan merasa seolah-olah sedang memegang bara api yang masih membara.

Sebetulnya banyak lagi pihak-pihak yang mengkritisi perilaku masyarakat saat ini, seperti semakin menipisnya rasa belas kasihan pada orang lain, kurangnya rasa solidaritas sosial pada masyarakat, kerasnya sifat tirani merasuk dalam hati pribadi-pribadi lantas menguasai kelembutan hati nurani. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline