Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana Bila Kita Termasuk yang "Biasa-Biasa Saja"?

Diperbarui: 26 Mei 2016   10:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebelumnya, apa kalian mengenal pria ini?

Pria ini bertubuh sixpack dengan wajah tampan rupawan. Ia penemu sekaligus pengusaha. Seorang milyader dunia. Segala teknologi paling canggih ia miliki. Mobil sport, kapal pesiar, hanyalah mainan sehari-harinya. Seluruh dunia mengenalnya. Bila ada yang membutuhkan pertolongan, ia akan segera datang. Siapa dia? Hehe.. beberapa dari kalian berhasil menebaknya. Yup, dia adalah Batman.

Bagaimana dengan yang ini?

Ia adalah seorang gadis muda yang amat cantik jelita. Ketika ia turun dari kereta kencananya, berbalut gaun megah, semua mata tertuju padanya, terkagum-kagum pada parasnya yang rupawan. Bahkan dua saudara tirinya sampai tidak mengenalinya, ketika akhirnya Pangeran hanya berdansa dengannya sepanjang pesta hingga tengah malam tiba. Hehe.. cukup. Sudah ada yang berhasil menebaknya. Yup, gadis cantik ini adalah Cinderella.

Apa kesamaan dari dua ilustrasi di atas?

Ya, keduanya begitu sempurna luar biasa. Si pria terlihat amat luar biasa dengan ketampanan yang diiringi gemerlap kecanggihan teknologi dan kekuatan supernya. Sementara, si wanita terlihat amat menawan karena parasnya yang tiada tara dengan gaun mewahnya yang cantik. Seolah inilah standar kesempurnaan itu. Yang tidak seperti itu, biasanya disebut 'biasa-biasa saja'.

Sayangnya, di dunia ini tidak ada yang sesempurna itu. Kalaupun ada, itu mungkin hanya sekitar 1% dari jumlah populasi dunia. Namun, dari ilustrasi di atas, terlihat sekali manusia ternyata amat mendambakan sesuatu yang ideal, sempurna, luar biasa. Buktinya, tokoh-tokoh fiksi di atas banyak sekali dibuat manusia, dari mulai film, kartun, hingga cerita dongeng, bertebaran dalam hidup manusia. Sebutlah, Edward Cullen, Superman, Spiderman, P-Man, Ninja Hatori, Sailor Moon, Doraemon, loh-loh, lama-lama kok jadi film anak-anak semua, hehe.

Lalu, apa efek dari naluri manusia untuk menjadi ideal, sempurna, luar biasa, dan terbaik ini?

Ya, seperti judul di atas, akan ada sisa dari 1% manusia -kita sebut saja 'terbaik', yakni 99% manusia -kita sebut saja 'biasa-biasa saja', yang pastinya berpotensi untuk merasa iri, galau, merana, hingga garuk-garuk pasir bila mulai membandingkan diri mereka dengan manusia-manusia 'terbaik' tersebut. Eeh, berlebihan ya? Hee.

Aduh, bahaya sekali dong melihat 99% orang merana atau minimal merasa hidup mereka kurang sempurna?

Tetapi, sebagian orang yang saya amati sih, malah terlihat lebih semangat dalam hidup ketimbang orang-orang yang di mata saya, sudah sempurna. Misal, si hitam, karena mengetahui standar kecantikan ideal itu adalah yang putih, dengan segala cara akan membuat kulitnya menjadi putih. Atau, si fakir, untuk membuktikan dirinya juga bisa seperti orang-orang gedongan itu, akan sibuk mencari celah pemasukan, menghitung pundi-pundi, dan berusaha melengkapi diri dengan segala yang bisa membuat mereka terlihat seperti orang-orang yang mereka jadikan standar ideal itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline