Lihat ke Halaman Asli

Serba-serbi Bunuh Diri di Jepang

Diperbarui: 11 Agustus 2017   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(riftress.deviantart.com)

Beberapa hari ini sedang marak berita tentang bunuh diri.

Di Indonesia ada berita tentang mantan pacar selebgram yang bunuh diri. Di belahan dunia lain, ada vokalis band ternama bunuh diri. Dan di Jepang, 3 hari lalu ada berita tentang pegawai perusahaan konstruksi yang bunuh diri.

Spekulasi mengenai kenapa mereka sampai melakukan bunuh diri juga bermacam-macam. Kemungkinan karena depresi yang berkepanjangan, atau terbelit masalah yang dirasa tidak bisa terselesaikan lagi, dan lain-lain. Namun saya tidak akan membahas lebih dalam lagi tentang alasan atau apa yang melatarbelakangi seseorang melakukan bunuh diri. 

Di sini saya  hanya ingin sharing tentang serba-serbi bunuh diri dengan fokus negara Jepang berdasarkan informasi yang saya berusaha eja dari buku, maupun informasi dari internet.

Kebanyakan kita beranggapan bahwa Jepang merupakan negara di mana angka bunuh dirinya paling tinggi di dunia. Ini bisa dimaklumi karena kadang imajinasi tentang "bunuh diri" ini sudah menjadi stigma pada Jepang karena banyak istilah bahasa Jepang yang berhubungan dengan bunuh diri seperti harakiri, jibakutai, kamikaze, tokkoutai yang sering kita baca maupun dengar mulai dari film (juga anime), komik sampai dengan media yang lain. 

Namun, sebenarnya jumlah orang yang bunuh diri di Jepang bukanlah yang terbanyak di dunia. Jepang menempati peringkat ke 6, yang bukan posisi teratas akan tetapi masuk dalam posisi 10 terburuk di dunia. Memang jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang lain seperti Inggris, Amerika, Kanada, Perancis dll, posisi Jepang merupakan posisi yang terburuk.

Ada sedikit catatan mengenai peringkat tersebut. Di Jepang, banyak kematian yang ditemukan lama setelah kejadiannya. Ini disebabkan karena populasi orang yang hidup sendirian juga banyak. Orang-orang yang hidup sendirian ini bisa jadi karena sudah ditinggal oleh istri atau suami (cerai) bahkan oleh anak-anaknya, atau memang masih sendiri oleh karena sebab-sebab yang lain. Kemudian orang-orang yang seperti ini umumnya sangat jarang (walaupun tidak semuanya) untuk saling berkomunikasi, baik dengan kerabatnya, maupun dengan lingkungan sekitar.

Nah, kalau orang tersebut meninggal dunia dan ditemukan lama setelah itu, karena tidak ada orang yang bisa dimintai keterangan tambahan yang diharapkan dapat membantu investigasi, maka identifikasi tentang faktor penyebab kematiannya jadi agak sulit terutama jika polisi maupun lembaga yang berwenang pun sudah angkat tangan mengenai sebab kematiannya. 

Akibatnya, pengelompokan tentang faktor penyebab kematian orang seperti inilah yang terkadang bisa membuat data menjadi bias, karena kemudian pengelompokan faktor penyebab kematian menjadi tidak jelas (tergantung dari keputusan lembaga yang terkait). Ada kemungkinan orang tersebut melakukan bunuh diri, tapi disisi lain terbuka juga kemungkinan bahwa kematiannya disebabkan oleh faktor selain dari bunuh diri.

Di luar catatan di atas, kasus bunuh diri di Jepang memang relatif lebih mudah diidentifikasi karena kebanyakan dari mereka "biasanya" meninggalkan pesan  yang mengisyaratkan baik secara langsung maupun tidak langsung bahwa mereka bunuh diri. 

Seperti kasus yang saya tulis di awal, pekerja muda yang bunuh diri tersebut menulis memo tentang keputus-asa'anya karena sudah capek jasmani dan rohani dengan pekerjaan dan tidak tau harus berbuat apa lagi. Dia juga meminta maaf kepada keluarga, teman maupun kepada kantor tempat dia bekerja karena telah membuat susah (merepotkan) dengan "kepergiannya". 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline