Lihat ke Halaman Asli

[Cerpen] Harga Manusia

Diperbarui: 9 Juli 2017   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

koleksi dan design pribadi

Hari ini Puutaro agak bergegas meninggalkan kantor. Hari ini, tanggal 25 adalah hari di mana setiap sarari-man* bisa tersenyum. Sebab di hari ini mereka akan menerima hasil dari jerih payahnya selama sebulan, alias hari gajian. Pun tak terkecuali bagi Puutaro.

Namun bukan gajian yang menyebabkan Puutaro cepat-cepat meninggalkan kantor.

Ada sesuatu yang harus dia kerjakan dirumah, yaitu membalas email yang dikirimkan seorang agen kerja ke alamat pribadinya.

Sudah menjadi kebiasaan bagi seorang sarari-man* seperti dirinya, bahwa mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan urusan pribadi, seperti membalas email yang tidak ada hubungannya dengan urusankantor, apalagi internet surfing untuk kepentingan pribadi, akan dilakukan di PC dan koneksi internet pribadi di rumah.

Stasiun JR Oosaki, stasiun kereta api terdekat kantornya yang tiap hari digunakannya masih ramai seperti biasa. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Masih banyak orang yang berlalu lalang di sini.

Rupanya banyak juga sarari-man lain yang bernasib sama denganku, gumamnya.

Bergegas dia menempelkan suica di gate dan langsung menuju platform 3 untuk naik kereta yang menuju Shinjuku. Tidak perlu menunggu lama baginya untuk naik ke kereta, karena setiap 3-5 menit kereta akan datang secara bergantian.

Dia langsung menuju posisi favoritnya, yaitu bagian dekat sambungan. Di sini dia bisa bersender dengan bebas dan "damai" di pintu yang berada disambungan karena jarang orang yang berlalu lalang untuk bergerak antar gerbong lewat pintu ini. Lagipula, tempat duduk di dekat sambungan ini biasanya adalah kursi prioritas. Artinya, orang-orang yang duduk di sini kebanyakan jarang bercakap dengan suara tinggi, dan kemungkinan dia akan terganggu dengan suara dari headphone yang terhubung dengan media player yang disetel dengan volume agak tinggi juga kecil.

Setelah meletakkan tasnya di rak atas tempat duduk, dia lalu bersender dan memandang gemerlapnya malam Kota Tokyo melalui kaca jendela lebar didepannya. Tokyo memang kota yang penuh gemerlap dan tak pernah tidur.Tak pernah terbayang olehnya berapa puluh ribu kilowatt yang dibutuhkan untuk mesuplai kebutuhan energi yang menerangi seluruhTokyo di malam hari.

Teringat olehnya akan bencana Tsunami yang kemudian menjadi bencana mengerikan yang mencekam karena meledaknya pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima 6 tahun yang lalu.

Berbeda dengan keadaan sekarang, kala itu seluruh Jepang mengurangi konsumsi listriknya karena seluruh pembangkit tenaga nuklir yang menjadi tiang utama pasokan listrik di Jepang, dihentikan pengoperasiannya untuk dievaluasi ulang. Gerakan mematikan lampu penerangan di tempat yang tidak penting seperti lampu taman, lampu vending machine, lampu di pusat perbelanjaan yang berlebihan, lampu kantor yang pegawainya sudah pulang ke rumah, dan juga mematikan sebagian lampu di kereta seperti yang dia tumpangi saat ini juga digalakkan. Saat itu memang Tokyo menjadi agak gelap dan "redup", seakan kota ini juga ikut berkabung dengan bencana yang sedang menimpa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline