Lihat ke Halaman Asli

Menjabarkan Patah Hati

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Teman baik saya itu sesekali menutup mukanya yang memerah pias dengan jilbab soft pink yang ia kenakan. Saya hanya bisa mengamati layar yang ia tatap dengan putus asa. Rupanya lelaki tempat ia menggantung harapan sudah ada yang memiliki.

Padahal senja baru turun, tapi teman baik saya itu sudah memasang malam di hatinya.

Telaah Patah Hati: Antara Realita dan Imaji

Kadang saya bertanya-tanya juga, seberapa sering orang mengalami patah hati? Saya pernah mengalaminya, saya rasa semua orang yang pernah mengenal cinta pun pasti mengenal sakit hati.

Berangkat dari pernyataan mayor tersebut, saya mencoba menganalisis apa yang terjadi pada sebuah proses patah hati. Saya akhirnya sampai pada kesimpulan rasa patah hati itu hadir karena delusi.

Kepada teman baik saya itu, berkata saya layaknya seorang ahli cinta, “Lo tahu enggak, apa yang membuat mayoritas proses jatuh cinta itu salah?”

Dia menggeleng.

Saya jawab, karena ego. Telah dibahas di tulisan saya sebelumnya cinta yang dangkal itu adalah cinta yang penuh nafsu akan ego yang minta diaktualisasikan. Dari ego ini, hadirlah sebuah delusi ataupun interpretasi kita. Dengan kata lain, cinta menjadi subjektif, padahal sejatinya cinta harus bersifat objektif. Saya yakin, kebanyakan dari orang yang jatuh cinta selalu concern dengan bagaimana objek afeksinya melihat dirinya. Lalu timbulah sebuah delusi sebelum terjadi kejadian atau kontak riil antara objek cinta dan sang pecinta itu sendiri, tentang apa yang akan terjadi.

Hal tersebut dipertegas dengan perkataan Milan Kundera dan Arthur Schopenhauer. Kundera mengatakan bahwa:

To imagine─ to dream about things that have not happened ─ is among mankind’s deepest needs.” (mengkhayalkan, mengimpikan hal-hal yang belum terjadi termasuk dalam kebutuhan paling dasar seorang manusia).


Senada dengan Kundera, Schopenhauer mengatakan bahwa “dunia adalah representasiku”, yang menguatkan hipotesa bahwa cinta itu sejatinya tidak akan pernah bisa objektif walaupun seharusnya seperti itu.

Katakanlah saya eksistensialis atau apapun itu, tapi saya menangkap pernyataan mereka benar untuk cinta dan patah hati. Ketika individu mencintai seseorang, ia memiliki tendensi untuk berkhayal tentang objek yang mereka kasihi tersebut, dan tentunya khayalan tersebut berbasis paradigma personal atau perspektif mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline