Lihat ke Halaman Asli

Ilmu Untuk Karakter, Bukan Nasi

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah pemikiran atau tulisan akan selalu lahir dari masalah yang dipertanyakan. Maka saya menghadapi pertanyaan lagi, ada apa dengan pendidikan?

Bagi kaum pragmatis tidak ada yang salah dengan pendidikan, dan sepertinya beberapa pihak semacam PBB juga setuju: pendidikan, secara mutlak, merupakan jalan keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Namun kemudian ada pertanyaan lagi, sepraktis apa pendidikan hingga seseorang yang mengenyam pendidikan bisa dikatakan dapat menjadi pemutus kemiskinan di lingkungannya? Hal ini merujuk pada kenyataan masih banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak mendapat pekerjaan.

Dulu saya setuju seratus persen tanpa keraguan bahwa pendidikan adalah jalan terbaik pemutus kemiskinan di Indonesia, sejatinya adalah wajib kita mengenyam pendidikan demi masa depan yang lebih baik. Semakin saya berkembang dan belajar, saya menyadari bahwa frasa realita lebih aneh daripada fiksi memang benar adanya.

Di Indonesia, banyak sekali literatur motivatif yang menunjukkan pendidikan adalah buah manis yang jika dicoba akan berdampak sangat dahsyat. Saya tidak mengejek literatur tersebut, tapi saya berpendapat bahwa motivasi yang ditularkan di buku itu terlalu eksistensialis, tidak universal.

Tanpa bermaksud merendahkan kaum menengah ke bawah, mereka tidak menganggap pendidikan itu terlalu signifikan layaknya mata pencaharian. Menurut salah satu feature di media yang saya baca, orangtua kelas menengah akan merasa lebih senang ketika anaknya bekerja dan menghasilkan sejumlah uang untuk membantu kehidupan ekonomi orangtuanya.

Salah Konsepsi

Nah, lalu apa benang merah dari semua permasalahan ini? Saya rasa masalahnya terletak di konsepsi pendidikan itu sendiri. Selama ini pendidikan digadang-gadang sebagai jalan praktis dan mutlak untuk memperbaiki kualitas hidup seseorang. Namun, saya mulai bertanya-tanya, kalau begitu apakah output dari pendidikan memang untuk mencetak generasi pencari kerja? Apakah itu arti pendidikan? Saya tidak yakin itu yang terlintas di pikiran Ki Hadjar Dewantara saat merumuskan konsep pendidikan di Indonesia.

Pendidikan bagi saya adalah untuk pembentukan karakter. Ditilik dari sejarahnya, monopoli pendidikan oleh priyayi dan kaum penjajah adalah dasar dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara, kita menjadi bangsa yang takut dan minderan terhadap kaum yang (dianggap) memiliki kasta lebih tinggi. Ini membuat kita menjadi bangsa yang kerdil (kala itu atau hingga kini?), oleh sebab itu, pendidikan berbasissaling memberi contoh-mendorong-mendukung diciptakan, agar kita bisa menjadi bangsa yang sejajar dengan para eksklusivis itu.

Pendidikan, seperti yang telah dibilang sebelumnya, seharusnya menjadi media pembentukan karakter bangsa alih-alih menjadi justifikasi untuk mencari sejumlah rupiah. Pendidikan tidak sesederhana itu untuk menjadi ‘malaikat’ bagi kehidupan ekonomi seseorang. Pun berdasarkan diskusi yang pernah saya ikuti, selalu terjadi clash antara pemerintah, lulusan pendidikan, dan pihak swasta. Sederhananya, selalu ada konflik berbasis skill individu yang telah terdidik saat ia ingin melamar di sektor pemerintahan maupun swasta, yang terkadang dimulai dari tempat si terdidik menyelami pendidikannya.

Lalu dimana pendidikan yang menjadi malaikat penolong kemiskinan itu? Filosofi pendidikan yang dibatasi dengan ‘kemiskinan’ jelas merupakan penghinaan terhadap konsep awal dan fundamental pendidikan di Indonesia.

Falsafah Pendidikan yang Luhur

Jelas saat ini diperlukan perubahan terhadap konsepsi pendidikan. Memang tidak sepenuhnya salah bahwa pendidikan dapat menolong kehidupan ekonomi seseorang untuk ke depannya, apa yang salah adalah bagaimana pendidikan tidak dapat memberikan gambaran yang jelas tentang ‘pertolongan’ tersebut.

Misalnya, saat ini marak iklan pemerintah tentang wirausaha. Tagline-nya menarik sekali, ‘daripada wara-wiri cari kerja, mendingan jadi wirausaha!”. Hal-hal seperti ini yang harusnya diberikan kepada seseorang saat ia mengenyam pendidikan. Nyatanya, sedikit lembaga atau institusi pendidikan di Indonesia yang memberi pendekatan entrepreneur kepada para pengenyam pendidikan. Dalihnya, itu semua berdasarkan pengalaman, kalau begitu kenapa pula pendidikan yang digadang-gadang menjadi pemutus rantai kemiskinan?

Memang, ilmu adalah bantuan kita dalam meraih cita-cita, tapi yang penting adalah, ilmu membuat dan membentuk karakter kita. Ilmu itu tidak membuat kita konsumtif dan materialistis, karena ilmu lebih dari sekedar penolong di kala dompet yang mengering. Falsafah pendidikan kita harusnya kembali di awal dulu, membentuk karakter bangsa, bukan untuk mencetak generasi materialistis dan mencari ilmu demi kepuasan konsumtif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline