Zaman dahulu untuk dapat melaksanakan rukun Islam ke lima, selain memiliki materi seorang muslim wajib memiliki ilmu yang mumpuni serta ketahanan fisik dan mental.
Bayangkan untuk sampai ke tanah suci harus melalui perjalanan darat dan laut selama berbulan-bulan bahkan setahun penuh. Hanya orang-orang terpilih dan hatinya terpanggil yang bisa ke tanah suci menjadi tamu-Nya.
"Tapi bagaimana kamu mau mendengar, jika telinga dan hatimu tidak dibuka lebar-lebar untuk mendengar panggilan-Nya", ujar Bapak ketika saya menolak umroh bersama keluarga dua tahun lalu dengan alasan belum dapat panggilan.
"Apakah benar saya belum dipanggil Ya Allah?" Doa saya di sepertiga malam jelang pergantian tahun 2018 melahirkan sebuah jawaban. Jika tidak bisa berhaji mengapa tidak berangkat umroh terlebih dahulu. Ketika niat itu begitu kuat maka Allah akan menjabah doa umatnya tanpa syarat. Bulan April 2018 saya berangkat ke tanah suci melalui umroh mandiri atau biasa disebut dengan umroh backpacker, sesuai dengan kemampuan finansial.
Umroh & Keinginan Naik Haji
Jangan membayangkan umroh mandiri sama dengan umroh reguler dengan fasilitas penuh. Ibadah gaya ini memerlukan kesiapan fisik dan mental yang lebih untuk menghadapi hal-hal tidak terduga di perjalanan, seperti berdesakan di kendaraan umum hingga menangani semua barang bawaan sendiri tanpa porter.
Jelang hari terakhir umroh fisik saya jatuh sakit karena kelelahan dan perubahan cuaca yang ekstrim. Kota Mekah sempat diguyur hujan beberapa jam setelah panas hampir setahun. Saya sempat terkena radang tenggorokan, flu dan demam selama beberapa hari. Ini baru umroh dan usia juga belum terlalu tua, bagaimana jika 25 tahun lagi saya berhaji apakah akan mampu?
Perjalanan minimalis ini membuka pikiran bahwa ibadah ke tanah suci harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Saya jadi membayangkan bagaimana jika di usia lanjut baru melaksanakan ibadah haji tentu banyak kendala dan resiko yang akan dihadapi. Memang usia dan kesehatan manusia milik Allah tapi manusia tetap harus menjaganya sebagai sebuah ikhtiar.
Umroh 9 hari di tanah suci terasa begitu singkat seperti rindu yang belum tuntas namun harus kembali terpisah oleh jarak dan waktu. Itulah yang saya rasakan ketika melakukan tawaf wada sembari melambaikan tangan ke Ka'bah.
"Ya Allah kapan saya bisa kembali ke sini untuk menyempurnakan menunaikan rukun islam ke lima?" Tidak terasa air mata menetes, merasakan penyelesan teramat dalam. Mengapa hati ini tidak pernah terpanggil dari dulu. Haruskah ketika tubuh ini renta lalu berjalan tertatih tatih ke sini. Sejak saat itu saya bertekad untuk mempersiapkan diri berangkat haji ke tanah suci dengan sebaik-baiknya. Inilah saatnya berhaji, jika tidak mempersiapkan dari sekarang sekarang kapan lagi?
Ibadah haji berbeda dengan umroh, salah satu rukun terberat adalah wukuf di Arafah. Dalam cuaca panas hingga 60 derajat Celcius jemaah harus berjalan sejauh lima kilometer dari tenda menuju Jamarat. Jarak ini bisa lebih jauh jika lokasi tenda berada di tempat yang jauh. Rangkaian ibadah itu belum termasuk menuntaskan rukun haji di Masjidil Haram, yaitu tawaf ifadah dan sa'i.