Lihat ke Halaman Asli

Sudut Pandang Positif UU Ciptaker bagi Perekonomian Indonesia di Era Pandemi Covid-19

Diperbarui: 9 Januari 2021   15:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DANANG WAHYU SAPUTRA, Mahasiswa S1 Ekonomi Pembangunan (Transfer) Universitas Sebelas Maret Surakarta (Foto: Dok. Pribadi)

Masyarakat harus bijak dalam menyikapi setiap kebijakan pemerintah pada masa pandemi Covid-19 dan mengambil sudut pandang positif guna mendukung perekonomian nasional dan kesejahteraan dimasa yang akan datang.

Di Indonesia, pendemi Covid-19 mengakibatkan fluktuasi ekonomi yang menuju resesi pada kuartal III tahun 2020, Badan Pusat Statistika (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun 2020 mengalami kontraksi atau minus sebesar 3,49% secara tahunan (year on year) dari kuartal II 2020, berturut-turut pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami pertumbuhan negatif pada kuartal II tahun 2020 dengan pertumbuhan ekonomi tercatat minus 5,32%.

Resesi merupakan perlambatan atau kontraksi besar-besaran dalam kegiatan ekonomi, yang dapat dilihat dengan indikator-indikator seperti tingginya pengangguran, pendapatan masyarakat rendah, penurunan penjualan di perusahaan, dan pengeluaran (output) ekonomi nasional secara agregat terus menurun. Kondisi atau indikator-indikator tersebut telah terjadi di Indonesia akibat dari pandemi Covid-19, dimana era pandemi tersebut Indonesia menerapkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dimana masyarakat tidak diperbolehkan untuk berkerumun atau berinteraksi secara ramai-ramai dengan orang lain yang mengakibatkan intensitas kegiatan masyarakat menurun dan mengakibatkan dampak besar khususnya kegiatan perekonomian sehingga banyak perusahaan atau produsen dan UMKM harus menurunkan produktifitasnya dan mengakibatkan peningkatan pengangguran di masyarakat.

Saat pandemi Covid-19 sedang bergejolak karena berdampak pada banyak sektor seperti ekonomi, politik maupun kesehatan, Indonesia kembali bergejolak lagi pada 5 Oktober 2020, yaitu saat DPR mengesahkan Omnibus Law.

Salah satu persejutuan dalam Omnibus Law adalah UU CIPTAKER atau UU Cipta Kerja yang didasarkan pada alasan tumpang tindih dalam regulasi, tingkat produktifitas, tingginya jumlah angkatan kerja, pemberdayaan UMKM dan peran Koperasi dalam perekonomian Indonesia. Persetujuan UU Cipta Kerja ini mengalami pro kontra  di masyarakat maupun para petinggi kebijakan karena isi dari RUU Cipta Kerja yang dinilai merugikan tenaga kerja dan menguntungkan investor, setelah mengalami banyak penolakan DPR melakukan klarifikasi bahwa naskah UU Cipta Kerja masih dalam perbaikan, yang menjadi pertanyaan di masyarakat adalah "sebenarnya naskah RUU mana yang telah disahkan oleh DPR?", pertanyaan tersebut terus menyelimuti dalam suasana panas penolakan Omnibus Law dari berbagai kalangan. Jika yang dilakukan pemerintah benar tentang pengesahan RUU Cipta Kerja dan bermuatan baik sesuai klaster yang ada dalam RUU Cipta Kerja, maka pemerintah harus jelas dalam naskah yang disahkan dan dilakukan pada waktu pengesahan yang tepat sehingga tidak menimbulkan konflik ganda di masyarakat saat pandemi Covid-19 yang belum menemui titik terang.

Dampak pandemi Covid-19 bagi perekonomian yang paling mencolok di masyarakat merupakan pengangguran, dimana peningkatan intensitas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena pengurangan produktifitas perusahaan dan sulitnya Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) untuk bertahan karena kebijakan PSBB. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan ekonomi perlu mencari jalan keluar dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang efektif dan efisien, kebijakan yang perlu dilakukan dan yang paling dominan adalah dengan peningkatan  konsumsi dan investasi. Salah satu kebijakan pemerintah yang sudah dilakukan adalah dengan bantuan langsung tunai dan penurunan suku bunga kredit, dengan peningkatan konsumsi dan investasi diharapkan dapat memulihkan daya beli masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi kembali menuju positif.

Dalam waktu yang hampir bersamaan pemerintah Indonesia melalui DPR mengesahkan RUU Cipta Kerja dimana memberikan dampak pada perekonomian yang cukup signifikan. Dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja ada beberapa klaster yang dapat merubah struktur perekonomian Indonesia, klaster tersebut adalah :

  • Penyederhanaan perizinan tanah.
  • Persyaratan investasi.
  • Ketenagakerjaan.
  • Kemudahan dan perlindungan UMKM.
  • Kemudahan berusaha.
  • Dukungan riset dan inovasi.
  • Administrasi pemerintahan.
  • Pengenaan sanksi.
  • Pengendalian lahan.
  • Kemudahan proyek pemerintah.
  • Kawasan ekonomi khusus (KEK).

Dalam klaster Omnibus Law RUU Cipta Kerja inilah akan berdampak pada perkonomian Indonesia dan diharapakan dapat menggerakan semua sektor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. menggerakan ekonomi  dapat tercermin dalam RUU Cipta Kerja yang paling utama adalah penciptaan lapangan pekerjaan, penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas akan menimbulkan kompetensi serta kapasitas pencari kerja yang lebih baik dan meningkatkan investasi dengan pembukaan usaha atau bisnis baru yang dapat meningkatkan income dan daya beli masyarakat sehingga mendorong peningkatam konsumsi secara agregat.

 Disisi lain, pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja mendapatkan kontra yang besar dari berbagai elemen masyarakat. pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dinilai merugikan tenaga kerja dan dilakukan secara tergesa-gesa tanpa melakukan kajian lebih dalam tentang RUU Cipta Kerja dimana banyak konflik bahwa naskah RUU Cipta Kerja belum dibagikan kepada seluruh anggota Dewan. Dimana sebelumnya sudah diketahui bahwa RUU Cipta Kerja dimana memberikan dampak pada perekonomian yang cukup signifikan dalam struktur perekonomian, untuk lebih jelasnya melalui sudut pandang lebih sempit yaitu melalui salah satu faktor ekonomi yaitu ketenagakerjaan.

 Ada beberapa poin penolakan atau kontra yang digaris bawahi dalam RUU Cipta Kerja dari sisi ketenagakerjaan :

  • Hilangnya ketentuan upah minimum di Kabupaten/Kota.
  • Masalah aturan pesangon yang dianggap menurun dan tanpa kepastian.
  • Omnibus Law akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas, awalnya di UU adalah Outsourching berupa ke Core Business.
  • Sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar akan dihapuskan.
  • Kalimat aturan mengenai jam kerja dianggap eksploitatif.
  • Karyawan kontrak sulit untuk diangkat menjadi karyawan tetap.
  • Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) termasuk buruh kasar yang bebas.
  • Berkurangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.

 Jika dilihat dari poin-poin RUU Cipta Kerja memang sangat merugikan bagi tenaga kerja dan menguntungkan investor. Maka pemerintah perlu melakukan revisi untuk tidak merugikan elemen lain khususnya bagi tenaga kerja atau memberikan solusi lain yang dapat menutupi kerugian dari RUU Cipta Kerja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline