Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Yaman

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak pernah terbersit dalam fikiran saya bisa mengunjungi Yaman. Negara yang disebut-sebut sebagai “termiskin” di Jazirah Arab tersebut, saat ini memang dianggap kurang menarik didatangi. Bukan hanya karena negara yang berbatasan langsung dengan Saudi Arabia ini belum juga menemukan sumber daya alam yang semelimpah tetangga-tetangganya, konflik dalam negeri yang tak kunjung usai pun praktis membuat negara pimpinan Abdul Rabbuh Mansur Al-Hadi ini memberikan kesan “tidak kondusif” bagi pengunjung.

Meski demikian, jika memungkinkan alangkah baiknya jika kita dapat berziarah ke Yaman. Karena secara spiritual, Yaman tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam. Sejak sebelum masa kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat kelahiran beliau, bahkan setelah Rasulullah wafat, Yaman selalu mengisi lembar sejarah. Ratusan kisah shahabat dari Yaman pun terlukis indah dalam bingkai sejarah Islam. Sebut saja Abu Hurairah, Abu Musa Al Asy’ari, Ammar bin Yasir, Adi bin Hatim, dan masih banyak lagi.

Tak sebatas itu, Yaman ternyata juga memiliki ikatan genetis dan historis yang sangat kental dengan Indonesia. Dari Yaman-lah sebagian besar wali-wali penyebar Islam di Indonesia berasal. Melalui jalan perdagangan dan pernikahan dengan penduduk lokal, Islam diterima dengan baik dan terhormat di negara kita.

Awal bulan lalu, setidaknya selama seharian penuh saya berkeliling dari ibukota Yaman, Sanaa, menuju ke utara yaitu lembah Wadi Dhahr untuk menyaksikan lebih dekat sebuah situs yang dipercaya sebagai istana Bilqis. Ratu cantik jelita di zaman Nabi Sulaiman. Di sepanjang lembah, bentang alamnya yang berupa batuan purba coklat keemasan menjulang di sana-sini. Sebuah istana kuno di atas batu besar bernama Daar Al Hajar menjadi ikon penting lembah ini, karena konon itulah kediaman Ratu Bilqis.

Meski belum puas menikmati Wadi Dahr, lembah bersejarah yang dipenuhi dengan pahatan geologis nan menakjubkan, saya harus kembali ke Sana’a untuk menjelajah kota tua Yaman. Kota yang oleh penduduk setempat dipercaya dibangun oleh Sam putra Nuh, dan merupakan kota pertama di bumi yang dibangun usai surutnya banjir besar era Nabi Nuh.

Di dalam kompleks kampung tua yang telah berumur ribuan tahun itu terdapat pula reruntuhan Ka’bah Abrahah. Sebuah bangunan berbentuk tabung dari susunan batu andesit yang dibangun Abrahah untuk menandingi ka’bah yang berada di Mekkah.

Di kota tua ini, sejak pintu utama (Babus Salam) hingga keluar kota, orang-orang menyapa dengan ramah. Mereka mempersilakan para pelancong mampir di kedai makanan atau sekedar menunjukkan barang dagangan yang umumnya berbagai jenis tekstil, logam mulia, barang-barang antik, maupun hasil pertanian semisal kurma, kismis dan semacamnya.

Sungguh negara yang cantik. Tak hanya penuh situs-situs yang menerbitkan decak kagum, namun juga karena dibalut oleh kehangatan, keramahan dan kelemah-lembutan penduduknya. Rasulullah pun mengakuinya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa suatu saat Abu Musa Asy’ari beserta rombongan beliau datang dari Yaman, lalu Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya, “Penduduk negeri Yaman telah datang kepada kalian, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, Iman itu ada pada Yaman, dan hikmah ada pada Yaman.” (HR. Bukhari-Muslim).

Namun sayangnya saat ini Yaman tengah dilanda perang saudara. Beberapa kelompok beradu kekuatan dan berebut kekuasaan. Pemberontak Houthi, jaringan milisi internasional dan militer pemerintah. Mereka bisa merubah Yaman yang elok menjadi penuh desing peluru dan dentum bom.  Ditambah intervensi dari negara asing membuat keadaan semakin riuh dan keruh.

Tak hanya Yaman, di berbagai negara sebenarnya perpecahan dengan skala yang berbeda sama-sama melanda. Ada yang besar semacam peperangan di Syiria, ada pula gesekan-gesekan kecil termasuk di antaranya adalah Indonesia. Dan kemelut ini sebenarnya sunatullah yang telah dinubuwatkan oleh Rasulullah. “Yahudi telah berpecah belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, umat nasrani berpecah belah seperti itu pula, sedangkan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, Ibnu Majah dan lainnya)

Lalu bagaimana seharusnya menyikapi perpecahan dan beda pendapat?Allah berfirman, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali-Imran: 103)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline