Lihat ke Halaman Asli

Ketika Ramadhan Hampir Berlalu

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1406192856173316494

Malam jatuh beringsut pagi. Sesekali gemericik wudhu memecah sepi. Malam itu kota serasa mati, namun begitu hidup oleh dzikir, tilawah dan qiyamullail. Di suatu masjid, pada sebuah sunnah i’tikaf, tangan-tangan para salafush shalih terangkat dalam munajat. Isak terdengar sayup menyayat karena jiwa mereka redam mengingat kengerian akhirat. Wajah-wajah tenggelam dalam lelah. Mata basah, pertanda jiwa dirundung gelisah. Ya, gelisah apakah amalan sepanjang Ramadhannya berbuah pahala atau justru menjadi bulan yang penuh lelah dan dahaga yang sia-sia. Dan ketika rembulan semakin menyabit, tangisan mereka pun makin melangit. Begitulah gambaran kegelisahan para salafush shalih atas amal-amal yang tidak diterima, seperti dikatakan Abdul Aziz bin Abi Rowwad.

Lalu bandingkan malam mereka dengan malam-malam kita….

***

Saudaraku, Ramadhan adalah bulan ketika pintu surga dibuka selapang-lapangnya dan pintu neraka ditutup serapat-rapatnya. Bulan ketika nafas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dibanding harumnya kesturi. Bulan ketika tiap detiknya ibarat untaian berlian, sehingga amat merugilah seseorang yang menyia-nyiakannya tanpa amalan.

Bagi orang-orang beriman, Ramadhan adalah saat ketika peribadatan berada di puncak kenikmatan. Karena ketika itu satu kebaikan dibalas berlipat-lipat bahkan tanpa batasan. Inilah sebenar-benar waktu yang penuh dengan keberkahan.

“Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakam pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta para syetan dibelenggu...” (HR. Ahmad)

Tetapi semua keutamaan itu tak lagi bisa dinikmati ketika Ramadhan beranjak pergi. Di sisi lain tak satu pun makhluk yang dapat menjamin apakah usia seseorang akan sampai hingga setahun lagi dan bersua dengan keutamaan Ramadhan kembali. Maka pantaslah orang-orang shalih terdahulu selalu menangis dalam getir saat Ramadhan akan berakhir.

Ramadhan adalah bulan pengampunan. Seyogyanya melalui berbagai ibadah di bulan ini, akan menjadikan deposit dosa kita terkuras tanpa sisa. Jika seseorang telah bersama Ramadhan tetapi dosa masih teronggok tak terampunkan, sungguh ia adalah secelaka-celakanya manusia. Sabda Rasulullah, "Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni." (HR. Hakim dan Thabrani).

Di lain pihak, kita juga tak bisa menjamin bahwa kita termasuk golongan manusia-manusia terampuni. Dan inilah yang menggelisahkan jiwa orang-orang shalih. Rasa khaufnya menggelegak. Takut termasuk di antara orang yang celaka karena tidak memperoleh kucuran ampunanNya. Maka mereka pun menangis, sambil melangitkan munajat agar amal-amalnya diterima. Mari kita dengar ucapan mereka, orang-orang shalih ini.

Malik Bin Diinar, tokoh kalangan tabiin berkata, “Tidak diterimanya amalan lebih kukhawatirkan daripada (bagaimana caranya untuk bisa) banyak beramal.” Sedangkan Fudhalah bin ‘Ubaid, beliau mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa Allah menerima dariku satu amalan kebaikan sebesar biji saja, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline