Lihat ke Halaman Asli

Mie Instan dan Revolusi yang Tertunda

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Revolusi dimulai dari perut yang lapar" adalah mantra sakti yang sering dikutip para penganut mazhab kiri. Semalaman begadang lapar menunda tidur pagiku dan nasi uduk yang lazimnya ditempuh lima menit jalan kaki mendadak menjauh karena hujan. Mie instan nampaknya akan tetap menjadi pahlawan yang tidak kesiangan buatku. Sebelumnya mie instan efektif membuatku tidak kelihatan gendut dimata ibuku, karena uang makan bulanan hanya cukup untuk mabuk mabukan, namun siapa yang tidak terselamatkan olehnya? Mie instan juga sebagai penunjang perjuangan mahasiswa yang tidak kenal lelah mengkritik pemerintah, diskusi tentang permasalahan bangsa siang dan malam, di warnet atau cafe penyedia wifi gratis, karena demonstrasi disosmed lebih tertib, diskusi disosmed juga menambah kecerdasan setidaknya untuk aktifis dengan segala kegiatan kemahsiswaan sampai tidak sempat masuk kelas. Dengan begini pesan anti korupsi lebih mudah disampaikan, Apalah arti lekas sarjana kalau kuliah saja bisa turut serta memperbaiki negara, apa lagi sekedar uang makan dari orang tua yang penting pulsa paket internet unlimited ada sisa untuk beli mie instan. Mie instan juga berperan dalam menggerakan roda industri nasional, bagi buruh yang masih single mie instan menjamin tenaga mereka bertahan tiap hari sembari berharpa gajian bulan depan, depanya lagi, lebih kedepan, kedepan terus sampai cicilan motor dan smartphone lunas, yang penting kelihatan keren, bisa facebookan kalaupun dapat jodoh itu cuma bonus, apa lagi dia outsourcing kerenya bisa dikalikan tiga, setidaknya itu istilah dalam bahasa inggris.

Mie instan juga mewarnai dua sahabat karif yang membesarkan orba, yang pertama, kita mengenal sebagai bapak pembangunan, orang luar menjulukinya "The Smiling General"  mungkin dalam peradaban sosmed  itu semaacam kode yang diartikan "welcom". yang kedua adalah pengusaha tersukses dalam sejarah republik ini, Sudono Salim. Mereka adalah partner in crime semenjak masih sama sama di Semarang. Soeharto bukan yang terbaik dalam militer, tapi dia terlatih, pastinya dia sangat mengenal musuh utamanya, mungkin dia takut dengan mantra sakti musuh yang telah ia habisi untuk menjadi presiden apa lagi dia seorang pelaku spiritual Jawa. Soeharto pasti belajar dari Soekarno, kurang berjasa apa Soekarno pada negara ini, dia juga salah satu pemimpin yang ditakuti. Namun itu tidak berharga didepan rakyat yang lapar, apa lagi orang yang laapar itu susah berpikir jernih senghingga mudah di provokasi. Soeharto yang anak petani sangart mengerti ini, bahwa rakyat yang kenyang itu "nrimonan". sebagai keturunan bangsawan Jawa Soekarno tidak pernah sadar bahwa orang tidak akan kenyang hanya dengan mendengar pidato berapi api tentang revolusi. Ambruknya perekonomian, kesombongan Soekarno yang menolak bantuan asing, serta bencana alam dengan meletusnya gunung agung di Bali, memicu rawan pangan, tentu saja Soeharto yang baru saja menaiki kursi kekuasaan dengan berpijak pada bangkai kaum Komunis tidak ingin dilengserkan rakyat yang lapar, tidak lebih dari setahun dia berkuasa partner in crime ketika di Semarang, Sudono Salim membuka pabrik mie instan di Indonesia, tidak serta merta mengatasi rawan pangan namun cukup membantu. Pada akhrnya Soeharto bisa mempertahankan kekuasaanya tiga puluh dua tahun, tanpa pernah dihantui mantra sakti kaum kiri, konon salah satu kudapan favorit Soeharto adalah mie instan cup seduh masih ia nikmati setelah lengser, dan Sudono Salim sempat menjadi orang terkaya Indonesia.

Tepat sepuluh tahun sejak mie instan pertama kali diproduksi di Jepang, Sudono Salim mendirikan pabrik di Indonesia, namun sampai sekarang Indonesia menjadi produsen nomer satu di dunia, ajaibnya gandum sebagai bahan utama pembuatnya masih import dan di monopoli, padahal sebenarnya bisa ditanam di Indonesia. Sementara bagi Jepang mie instan menjadi ciptaan terbaik dari abad  20, mungkin karena MSG di dalamnya, yang bisa mengakibatkan lingkar otak mengecil kalau dikonsumsi lama, lihat aja setelah ekspor besar besaran MSG, Jepang begitu leluasa mengekspor elektronik dan otomotif, orang Jepang sendiri lebih suka makan ikan mentah yang baik untuk kecerdasan otak, dengan jalanan yang kacrut, aparat korup, begitu mudahnya pemerintah memfasilitasi pembuatan SIM, dan kredit murah, padahal angka kematian akibat kecelakaan lebih besar dari yang diakibatkaan narkoba, orang jepang naik sepeda kita bermacet macet hirup asap kenalpot sambil cengengesan, bisa dibayangkan saat ini Indonesia menempati urutan ke 2 konsumsi mie instan dunia, ini jelas gawat karena mengancam keanekargaman budaya kuliner Indonesia serta perilaku instan telah merubah pola pikir kita menjadi pragmatis. saya ambil contoh kuliner jawa yang cenderung manis sesuai dengan orangnya yang bicaranya kalem kadang dimanis maniskan, kuliner batak yang menggunakan andaliman sebagai bumbu rempah utamanya rasanya getir, sesuai dengan nada bicara orang batak yang terkesan gahar, rendang sudah bisa dipalsukan, semoga itu tidak terjadi pada arsik atau saksang. Rasa soto dalam mie instan yang tidak ada miripnya dengan soto, kita dikelabui kemasan, bermacam bungkus beda warna dengan rasa yang sama, dari banyak merk tapi pemasuk gandum yag sama karena monopoli, kepalsuan kita konsumsi tiap hari hingga kita jatuh cinta pada kepalsuan itu, penipuan nampak jelas dimuka mata namun kita pura pura buta.

Mie instan yang menjadi pahlawan element penggerak revolusi ternyata juga sebagai alat peredam revolusi, sebagai pengganjal perut rakyat yang lapar, dan senjata ampuh kapitalis menumpuk amunisinya di rekening mereka. kata semar sakti dengan pusaka super semar, lebih di ingat rakyat, dari pada mantra sakti kaum kiri, karena banyak tertulis di pantat truk, sebuah kata kontra revolusioner  dan konservatif, "pie kabare? enak jamanku to?"

Saatnya memberi hak cacing dalam perut agar tidak terjadi revolusi perut, bukan mie instan kali ini karena sudah eneg dari tadi. Sekian, revolusi yang tertunda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline