Lihat ke Halaman Asli

Danang Hamid

Freelance, father of three and coffee

Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada Masihkah Kau Bersujud kepada-Nya

Diperbarui: 12 Maret 2023   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pustaka Foto Canva

Kodir bercerita, katanya ia mulai belajar menulis dan ia mengawali tulisan tentang keresahannya. Apakah saya boleh menceritakan ini ke ruang publik? Tanya dia.

Catatan di dokumen Microsoft-word-nya tertulis; Bagiku Suara Adzan dari surau itu menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu ketika Shubuh, selain mengingatkan di dekat gubuk ini ada surau yang nostalgic mengingatkan pada masa kanak-kanak, maka dengan begitu aku bisa segera memulai hari dengan lebih baik. 

Tapi, kini berubah!  Narasinya menjadi lebih panjang dan bertambah, padahal rapalan adzan sudah menjadi yang paling indah, panggilan yang paling menggugah. Namun kini menjadi bising dengan aneka kalimat penuturnya, terasa merampas kedamaian dan ketentraman jiwa, padahal awalnya tinggal di sini di kampung nenek moyang, selama ini damai dan sejuk. 

Ramah penghuni dusun, kata Iwan Fals dalam lagu Ujung Aspal Pondok Gede. 

Di alinea berikutnya. Syahdan, suara bising mengusik perasaannya dari sebuah surau milik keluarga yang secara turun temurun terpelihara meski telah berubah dari bentuk aslinya, narasi itu mengusik rasa ketidaknyamanannya dalam beberapa bulan terakhir setelah bertahun-tahun tinggal di kampung yang sama.

Padahal sebelumnya, susasana kampung begitu damai, kini damai tapi gersang, muncul lagi judul lagu, kali ini milik Adjie Bandi. Masih ingat liriknya? (Baik diingatkan, di bagian refrainnya saja; Semua kehidupan dia. Berkhayal tinggal yang ada. Rindu sayangi sesama. Hidupmu sebentar saja).

Damai terusik sejak kerabatnya pensiun dari sebuah dinas dan berpindah rumah yang semula di pinggir jalan raya kini berada tak jauh dari surau dan tempat tinggalnya. Kerabatnya tersebutlah yang kemudian menguasai pengeras suara setiap waktu, ia berperan sebagai muadzin, melantunkan iqomah dan menjadi imam sholat.

Bagi Kodir tak ada masalah, justru ia senang, musabab bila sholat berjamaah tepat waktu dan ada imam sholat baru yang bisa menggantikan seorang yang sudah terlalu sepuh untuk dijadikan imam sholat. Kodir sebetulnya sedang berusaha belajar jadi muslim yang baik, walau belum bisa kafah ia selalu menyempatkan diri melakukan tata cara sholat yang utama ini, walau berjamaah tidak diwajibkan. Untuk bisa sholat tepat waktu pun sesuatu yang sangat luar biasa baginya.

Ilustrasi: Pustaka Foto Canva

Persoalan muncul manakala penguasa mic surau merasa jamaah tak kunjung datang ke musholah dan ia menjadi cenderung superior dibanding warga dusun lainnya ketika ia mengajak warga untuk melakukan sholat berjamaah dan panggilannya merasa diabaikan warga. Kemudian, penguasa mic mulai judgemental, menyebut nama, menggerutu, nada sengit, terkesan seperti tak membedakan lagi mana ruang publik atau bukan.

Apakah narasi itu pantas disampaikan lewat pengeras suara atau tidak? Lalu munculah sekat seirisan dengan resistensi dari beberapa warga termasuk Kodir sendiri yang merasa jengah dengan cara penyampainnya. Lalu apakah Kodir juga pantas menulis dan mempublikasikan di akun sosmednya, pikir dia.

Coba kamu bayangkan mendengar ini setiap kali hari masih gelap gulita dan corong pengeras suara begitu dekat dan kerasnya, bisa kamu bayangkan? Keluh Kodir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline