Lihat ke Halaman Asli

Danang Hamid

Freelance, father of three and coffee

Dari Kopi hingga Jalan Tol

Diperbarui: 16 Februari 2019   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Memangnya di Galunggung ada kopi?

Geliat petani kopi dalam beberapa tahun belakangan ini di kawasan Gunung Galunggung mulai nampak, satu persatu para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Kubang Koak, Linggajati, Galunggung Putra dan Tani Mukti Ciakar, Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya melirik tanaman kopi sebagai salah satu komoditas tanaman yang dikembangkan di lahan milik perhutani.

Kini, bagi sebagian orang bertani kopi cukup menjanjikan meski butuh waktu yang cukup lama untuk berhasil, tetapi setelah tanaman kopi bisa berbuah, belasan hingga puluhan tahun petani dapat memetik hasil usahanya.

Selain karena menjamurnya kedai dan warung kopi atau kafe yang siap menampung biji kopi untuk dijadikan varian minuman ekstraksi buah ini, para penikmat kopi baru (bukan sachet) pun jumlahnya bertambah cukup signifikan dari semua kalangan, menambah keseruan budaya ngopi di Indonesia, para penjual alat-alat penyeduh kopi secara online pun terkena dampak naiknya omset , sebab meminum kopi kini lebih dari sekedar menyeruputnya saja dari cangkir atau gelas.

"Awalnya, agak sulit mengajak kawan-kawan petani untuk menanam kopi, sering kali saya kena ledekan dengan pertanyaan berkali-kali, kapan panen kopi teh, Jang?"  jelas Tatang Haeruman (34), salah seorang petani Ciakar penggarap lahan di Kawasan hutan lindung mengungkap ihwal asal muasal pergerakan petani kopi, mengingat bertanam kopi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan hasil.

Lain halnya dengan cerita Nanang (43), petani kopi di Kubangkoak yang sudah bertahun-tahun menanam kopi di wilayah Gunung Galunggung, 

"Kalau saya sudah hampir lima tahun aya di Gunung, Alhamdulillah kopi mah udah buahan meski hasilnya belum memuaskan, karena waktu itu pas nanam teh hanya berbekal pengalaman ketika saya masih di Lampung ikut mertua nanam kopi, untuk biaya hidup sehari-hari saya bikin gula kawung dan gula semut" kenang Nanang 

"Jeung saya niatna ge hayang ngahejokeun gunung, bagaimana caranya gunung ini hijau kembali, da sayah mah senang ada di leuweung" Imbuhnya sambil menunjukan masih ada lahan yang tampak gundul betapa sudah terlalu luas lahan di kaki Gunung Galunggung  yang kini berubah menjadi tambang pasir terutama di Desa Sinagar dan sekitarnya semenjak dampak letusan dahsyat Gunung Galunggung tahun 1982 dianggap aman.

dokpri

Semangat menjaga alam seperti yang Nanang miliki adalah modal besar bagi kelestarian lingkungan hidup dan ekosistem yang baik, tapi berapa banyakkah orang yang memiliki spirit seperti dia? "Saya mah nanam aja secara swadaya, bibitnya juga rabutan dari mana saja ngga mikirin hasil waktu itu, nu penting gunung hejo!" kata dia.

Dan sekarang, bila ada yang bertanya "Memangnya di Galunggung ada kopi?" jawabannya jelas ada.

Tersesat di ladang kopi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline