Lihat ke Halaman Asli

Danang Hamid

Freelance, father of three and coffee

Ngabolang, Mendidik Anak-anak Cinta Lingkungan

Diperbarui: 6 April 2017   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungai Cimangpang, Galunggung (Dokpri)

Ngabolang

Libur sekolah jadi lebih spesial untuk anak-anak, karena ada kegiatan rudin yang mereka bisa lakukan, mereka menamainya dengan Ngabolang, sebuah istilah yang kini lazim dipakai untuk kegiatan jalan-jalan tanpa "tujuan yang jelas" namun jelas tujuannya untuk rekreasi gratis dengan menyusuri daerah-daerah di sekitar desa kami di Kabupaten Tasikmalaya.

Sungai, Air terjun dan pesawahan serta lereng bukit adalah tujuan kami saat ngabolang, jarak yang kami tempuh bisa sampai tujuh kilometer dengan berjalan kaki, hanya untuk menikimati keseruan-keseruan selama masa perjalanan, hingga tiba di tempat yang kami rasa cukup spesial untuk dinikmati, misalnya di sebuah sungai yang airnya jernih, tidak terlalu dalam, banyuak bebatuan terhampar dan cukup teduh.

Anak-anakku main air, mandi dan berenang dan tertawa senang diantara gemuruh aliran sungai dari gemiricik air menghantam bebatuan. Hanya sayang! di sebagian tempat banyak sampah yang sengaja dibuang ke daerah aliran sunggai, kantong-kantong kresek, stereofoam, baju-baju bekas pakai dan sampah lainnya yang tak bisa terurai dengan sendirinya menjadikan kami geram. Lalu, kepada siapa kami harus marah?

"Lihat ayah, ihhh banyak sampahnya! sayang banget airnya dikotori" ujar putriku yang kedua bereaksi, tujuan ngabolang lainnya adalah menciptkan sense of belonging anak-anak pada alam dan lingkungannya, hingga tumbuh kesadaran mencinta dan meraksa, memelihara.

Kebiasaan membuang sampah di kali, sungai dan selokan masih saja banyak dijumpai, masyarakat sendiri hampir tak merasa berdosa melakukan hal itu, padahal apa susahnya memilah, memilih, memuishkan mana yang bisa diperlakukan semestinya seperti sampah organik bisa saja mereka jadikan pakan ikan karena rata-rata penduduk di daerah ini memiliki kolam dan empang.

Budaya sungai adalah halaman belakang menjadikan kebiasaan buang sampah ke saluran air tak berubah dari waktu ke waktu, "Mereka ingin bersih di tempat mereka sendiri, di lingkungan orang lain bodo amat, ini kan picik namanya," terang seorang rekan di pemerintahan desa "Sosialisasi kemasyarakt sering dilakukan, tapi kembali pada kesadaran individu, toleranlah terhadap orang lain dan lingkungannya," imbuh Deden Gunaefi, Kades Subangjaya, Sukabumi.

HARUSKAH SEPERTI INI?

Seorang rekan di facebook sekaligus guru saya memposting gambar yang cukup menarik tentang kegelisannya, disertai dengan beberapa kalimat dan fhrase yang berbunyi "Takut Adzab Allah Setidaknya saya pernah mendapati tulisan semacam ini di tiga titik lokasi yang berbeda. Di dalam perjalanannya ternyata tulisan itu lebih efektif dibandingkan dengan sekedar himbauan atau larangan membuang sampah, bahkan dengan kalimat yang lebih kasar.

Bisa jadi hal ini menunjukkan bahwa kita (warga masyarakata) masih memiliki rasa takut dengan adzab. Apakah ini juga akan efektif diterapkan untuk mengantisipasi tindak pidana korupsi, semisal dibuat tulisan "Dilarang Melakukan Tindakan Korupsi, Ya Allah berilah adzab kepada orang-orang yang melakukan tindak pidana korupsi di kantor in! Aamiin."



Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline