Lihat ke Halaman Asli

Penentuan Hidup

Diperbarui: 1 Juni 2021   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berlayarlah

Rekan-rekan pembaca yang budiman.. bagi yang belum tidur selarut ini, selamat malam. Bagaimana kabar anda? Semoga anda semua berada dalam kebahagiaan. Jangan lupa menjadi berkah bagi sesama ya. Saya percaya, kita semua bisa!

Begini, saya hanya akan mengajak lalu melibatkan imajinasi anda dalam permenungan saya malam ini. Jika anda tak berkenan, tidak usah dilanjutkan membaca...(hehe...piss!) Pernahkah anda mengalami saat dimana anda harus mengambil sebuah keputusan besar untuk minggalkan apa yang sudah anda miliki saat ini dan memilih sesuatu yang masih abu-abu di depan sana? Kalau iya, acungkan jari anda.

Saya, beberapa kali mengalami posisi yang seperti itu. Tetepi secara khusus, ada dua situasi yang paling menarik dan menantang dalam sejarah hidup saya. Yang pertama adalah ketika mengambil keputusan ingin selibat atau mundur dari proses pendidikan calon imam dan mundur dari pekerjaan yang sudah dijalani selama kurang lebih 11 tahun.

Bagi rekan-rekan yang belum mengetahui istilah selibat, ini maksudnya. Jadi begini, selibat itu adalah keputusan mandiri yang penuh tanggung jawab untuk tidak menikah bagi para calon imam/pastor (pemimpin Gereja Katolik). Nah, sekitar tahun 2006, saya mengambil keputusan untuk mundur dari proses pendidikan calon imam. 

Apakah itu penting? ya sangat penting dalam proses hidup saya. Keputusan itu harus dibuat dengan sebuat refleksi diri yang panjang dan berkesinambungan. Keputusan itu dibuat dengan doa dan penuh kesadaran. Keputusan itu dibuat dengan ketenangan batin, dan bukan dengan kegundahan hati. Keputusan itu dibuat dengan motivasi murni untuk menatap kehidupan yang lebih baik lebih membahagiakan. 

Sangat sulit tentunya untuk mengetahui maksud Tuhan atas hidup kita. Katakanlah begini, saya selalu yakin bahwa manusia itu dilahirkan pasti dengan tujuan tertentu. Dan manusia itu sendiri yang dalam dirinya sendiri memiliki tanggung jawab secara moral untuk mengurai dan mencari serta menemukan maksud Tuhan atas hidup kita.

Apakah itu gampang? Ohhh....sangat sulit. Apalagi kalau kita dinaungi ketakutan manusiawi. Segala keputusan yang akan dibuat pasti akan terasa menakutkan. Paling gampang dicerna adalah ketika muncul pertanyaan ini, "Nanti kalau aku gagal bagaimana?"

Itulah resiko atas apa yang telah dan akan kita putuskan dalam hidup ini. Keputusan itu diambil untuk dijalani dan disyukuri. Penyesalan tidak akan berarti apa-apa bahkan tidak berguna sama sekali. 

Dan benar, Tuhan selalu mencukupkan dan menyertai setiap hal yang saya lalui sedari tahun 2006 sampai sekarang.

Saat ini, saya berada dalam kesempatan yang sama. Kesempatan dan situasi yang hampir mirip ketika saya harus mengambil keputusan lagi. Ketakutan, kecemasan, keragu-raguan pasti ada. Dan itu sangat manusiawi. Saya pun bawa pengambilan keputusan ini dalam doa sembari menguatkan motivasi mengapa saya membuat keputusan ini.

Pekerjaan adalah hal yang pokok dalam kehidupan berkeluarga. Mengambil resiko dan berharap memiliki peluang yang lebih baik adalah kenyataan saat ini. Yang menjadi pertaruhan saya saat ini adalah keluarga: istri dan anak-anak tersayang. Uang bukan segala-galanya, tetapi nyatanya segalanya perlu uang (katanya).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline