Lihat ke Halaman Asli

Kredit Mikro Perbankan (Small is Still Beautiful?)

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecil itu indah, kalimat ini sering kita dengar dalam kehidupan bermasyarakat yang mencitrakan hal-hal yang kecil namun menghasilkan yang indah-indah, misalnya usaha waralaba snack (makanan ringan) dengan lapak berukuran kecil dan beromzet kecil namun karena jumlahnya banyak sampai ratusan unit maka yang kecil menjadi besar karena adanya faktor pengali. Demikian juga dengan dunia perbankan kita saat ini, masih berlaku idiom small is beautiful dalam menjalankan bisnisnya. Kecil yang dimaksud dalam dunia perbankan adalah bisnis kredit mikro atau kredit kecil bagi masyarakat dengan plafond mulai Rp.0,- sampai dengan Rp.150 juta, bahkan untuk beberapa bank ada yang mengkategorikan kredit mikro sampai dengan Rp.500 juta. Saking indahnya bisnis kredit mikro saat ini membuat hampir semua perbankan nasional, baik konvensional maupun syariah, membuka gerai dan kantor-kantor perwakilannya di seluruh daerah untuk melayani kredit mikro bagi masyarakat. Kenapa indah? Pertama, pelaku usaha mikro/kecil yang menjadi segmen market dari bisnis kredit mikro saat ini berjumlah sangat banyak sehingga menjadi peluang besar untuk menggarapnya. Kedua, tingkat bunga kredit atau bagi hasil yang diterapkan oleh bisnis mikro bank konvensional maupun syariah relatif sangat tinggi dibandingkan jika mengucurkan kredit untuk sektor usaha menengah ke atas (plafon Rp.150 juta keatas) sehingga memberikan kontribusi keuntungan bagi bank dalam jumlah yang besar.

Entah alasan apa yang paling tepat untuk menjelaskan fenomena tingginya bunga kredit/imbal jasa yang dikenakan untuk pelaku kredit mikro ini. Sebagai ilustrasi, sama-sama dengan memberikan jaminan sertifikat tanah dalam mengajukan kreditnya, Si A yang merupakan pengusaha besar dengan pengajuan kredit modal kerja dengan plafon kredit sebesar Rp. 2 milyar dikenai tingkat bunga sebesar 11% per tahun, sedangkan Si B yang hanya pengusaha warung sembako dengan plafond kredit sebesar Rp. 5 juta dikenai tingkat bunga sebesar 2% setiap bulannya atau sebesar 24% per tahun. Bisa jadi hal ini berlaku karena pelaku usaha mikro itu tidak sensistif dengan tingkat suku bunga karena latar belakang sosial pendidikannya, lemah dalam hal bargaining power (posisi tawar) dengan pihak banknya, ataukah karena berlaku dan telah disepakati secara bersama oleh perbankan nasional mengenai praktek hukum dagang dalam dunia perkreditan yaitu jika membeli dalam partai besar (baca: plafon kredit besar) akan mendapatkan potongan harga (baca: tingkat bunga) yang besar juga dibanding jika membeli eceran atau dalam jumlah kecil (baca: plafond kredit mikro).

Namun apapun kondisi yang melatar belakanginya, seharusnyalah sektor usaha mikro ini mendapat perhatian yang lebih dari perbankan nasional. Berbondong-bondongnya perbankan nasional membuka layanan kredit mikro seharusnya dimaknai sebagai usaha untuk membangun pelaku ekonomi kecil ini agar lebih maju dan berkembang dan bukan semata menjadikannya sebagai profit center (untuk tidak menyebutnya sebagai sapi perah) dan memperlakukannya secara diskriminatif terutama dalam hal tingkat bunga yang diberikan.

Belajar dari Bank Grameen

Berangkat dari praktik perkreditan di sektor mikro yang dijalankan selama ini oleh perbankan kita, dimana misi mencari keuntungannya lebih mendominasi ketimbang misi sosial untuk membangun dan mengembangkan sektor ekonomi mikro, maka sudah selayaknya kita menata kembali bagaimana bisnis kredit mikro seharusnya dijalankan di negeri ini. Untuk itu seharusnyalah kita belajar banyak dari suksesnya Bank Grameen (Bank Desa) dari Bangladesh yang dipimpin oleh Muhammad Yunus dalam membangun ekonomi mikro rakyat Banglades melalui penyaluran kredit mikronya.

Muhammad Yunus berpendapat bahwa "Kesalahan terbesar" yang dilakukan bank-bank selama ini karena mereka hanya mau meminjamkan uang atau membuka kran kredit kepada orang yang sudah punya "uang" dalam arti penghasilan dan aset. Coba kita datang ke bank meminjam uang, mana mereka mau tanpa jaminan. Entah berupa surat motor, surat mobil, surat rumah atau tanah, dan lainnya. Pendeknya kita harus punya penghasilan dulu baru bisa dipinjami uang. Artinya, hanya orang yang punya uang bisa meminjam. Muncullah istilah "bankable", sebuah kata yang sangat menyesakkan bagi mereka yang tak punya uang, tak punya aset untuk dijadikan jaminan (kolateral) kepada bank agar bisa memiliki akses untuk meminjam.

Berangkat dari kondisi itulah maka Muhammad Yunus mendirikan Bank Grameen, atau Bank Desa dalam bahasa Bengali pada tahun 1976. Bank ini menyalurkan kredit mikro kepada peminjamnya yang kebanyakan adalah orang miskin tanpa jaminan atau agunan sedikitpun. Untuk menjamin pembayaran, Bank Grameen menggunakan sistem yang dinamakan 'grup solidaritas'. Kelompok kecil yang bersama-sama mengajukan pinjaman, di dalamnya terdapat anggota yang bertindak sebagai penjamin pembayaran. Pinjaman ini mirip dana bergulir, di mana ketika satu anggota telah berhasil mengembalikan pinjaman, akan digunakan oleh anggota lainnya.

Kini, Bank Grameen memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Hebatnya lagi, modal bank ini 94 persen dimiliki nasabah, yakni kaum miskin, dan sisanya dimiliki pemerintah. Bank tersebut kini mampu menyalurkan kredit puluhan juta dollar AS per bulan kepada 6,6 juta warga miskin yang menjadi peminjamnya tanpa agunan. Sebanyak 96 persen nasabah bank ini adalah kaum perempuan.

Selain itu, pada akhir 2003, Bank Grameen meluncurkan program yang membidik para pengemis di Bangladesh. Pinjaman bagi para pengemis rata-rata sebesar 500 taka atau setara 9 dollar AS. Pinjaman tanpa agunan ini tidak dikenakan bunga dengan waktu pembayaran fleksibel. Syaratnya pinjaman harus dikembalikan dari hasil pekerjaan mereka dan bukan dari mengemis.
Mereka diberikan tanda pengenal berupa pin dengan logo bank sebagai bukti bahwa ada bank yang mendukung kegiatan mereka. Bank Grameen bahkan membuat perjanjian dengan beberapa toko lokal agar meminjamkan mereka sejumlah barang, sesuai plafon utangnya, untuk dijual kembali. Bank menjamin pengembaliannya jika ternyata mereka gagal bayar. Mereka menjual roti, permen, acar, dan mainan sembari mereka mengemis. Para pengemis, atau yang disebut struggling member terbuka untuk membuka tabungan di Grameen. Mereka juga dilindungi asuransi jika terjadi kematian. Hingga pertengahan 2005, sebanyak 31 juta taka pinjaman telah disalurkan bagi 47 ribu lebih pengemis. Sebanyak 15,4 juta di antara pinjaman itu telah dikembalikan.

Pengucuran kredit mikro dan gerakan pemberdayaan kaum papa yang diprakarsai Muhammad Yunus kini diadopsi oleh lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat miskin di seluruh dunia. Bahkan, Bank Dunia yang sebelumnya memandang program ini secara sebelah mata kini mengadopsi gagasan kredit mikro. Lebih dari 17 juta orang miskin di seluruh dunia telah terbantu dengan program kredit mikro ini.

Lalu bagaimanakah dengan kita? Masihkah pola-pola penyaluran kredit mikro yang berjalan saat ini tetap kita pertahankan, mengingat Indonesia adalah salah satu Negara dengan jumlah penduduk miskin banyak di dunia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline