Pernah mendengar kasus Florence Sihombing, mahasiswa Program Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta?
Kilas balik di bulan Agustus tahun 2014 lalu, Florence Sihombing mengunggah status di jejaring sosial Path yang berisikan makian kepada warga Yogyakarta. Dilansir dalam kanal berita viva.co.id, kronologinya diawali pada 28 Agustus 2014, Flo sedang mengantri membeli bensin di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Lempuyangan. Dirinya menggunakan sepeda motor Honda Scoopy hendak membeli Pertamax, namun Florence Sihombing justru menyelonong memotong antrian sampai ditegur anggota TNI yang berjaga, namun ia malah marah namun tetap tidak boleh memotong antrian.
Lantaran kekecewaannya tersebut, Florence Sihombing menumpahkan kekesalannya dengan kalimat "Jogja miskin, tolol, miskin dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta, Bandung, jangan mau tinggal di Jogja". Kalimat tersebut tentu menghina warga Yogyakarta. Status yang tadinya hanya berada di Path tersebut dengan cepat menyebar ke berbagai media sosial dan mendapat reaksi negatif sehingga membuat Florence Sihombing dicerca.
Kemudian, di hari Jumat, 29 Agustus 2014 akhirnya terdapat permintaan maaf dari Florence Sihombing. Namun sangat disayangkan karena permintaan maaf tersebut hanya dibacakan oleh pengacaranya, Wibowo Malik dengan alasan Flo sedang depresi karena merasa diteror. Di waktu yang sama, masyarakat Yogyakarta yang tergabung dalam beberapa komunitas, seperti Grenat DIY, Komunitas RO Yogyakarta, Foklar DIY-Jateng, Gerakan Cinta Indonesia, PRamuka DIY, dan berbagai kelompok masyarakat lain melaporkan Florence ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada akhir bulan Agustus, akhirnya Florence Sihombing menjalani sidang putusan dengan hukuman dua bulan penjara, dengan masa percobaan enam bulan serta denda Rp 10 juta subsider satu bulan penjara oleh majelis hakim. Flo dianggap telah melanggar pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Berdasarkan kasus tersebut, saya menemukan keterkaitannya dengan penggunaan new media dan hubungan dengan konsep-konsep KAB. Konsep komunikasi antar budaya yang pertama tentu dapat terlibat bahwa adanya proses komunikasi antarbudaya dapat berfungsi sebagai sarana menghasilkan keselarasan dan kebersamaan. Dengan adanya komunikasi antar budaya, tentunya dapat menghindari kasus seperti ini, Florence Sihombing dapat lebih memahami situasi ketika berada di antrian Pom Bensin tersebut, serta dapat lebih baik dalam menggunakan Path, salah satu contoh dari new media.
Kasus yang dilatarbelakangi oleh ketidaksabaran Florence Sihombing dalam mengantri sebenarnya antri sendiri sudah menjadi budaya yang ada di Indonesia. Dilansir dari Educhild (Chairilsyah, 2015:81), budaya antri mengandung makna kedisiplinan sebagai aktivitas sosial yang dapat terjadi dimana saja. Budaya antri bagi orang dewasa tentu menjadi mudah dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari begitu pula yang harus dilakukan oleh Florence Sihombing.
Kemudian, berdasarkan jurnal "Konsep dan Dinamika Antarbudaya di Indonesia", konsep dari komunikasi budaya yaitu berbagi informasi, pengetahuan, perasaan dan pengalaman yang dilakukan oleh manusia dari berbagai budaya dapat membantu Florence Sihombing dapat memahami budaya yang ada di Yogyakarta, melihat dirinya pun memaparkan kejengkelan dalam kalimatnya yang diunggah di Path berfokus pada "tak berbudaya".
Daftar Pustaka
Chairilsyah, D. (2015). Metode dan Teknik Mengajarkan Budaya Antri pada Anak Usia Dini. Educhild, Vol. 4(2), 79-84.