Lihat ke Halaman Asli

Arus Balik yang Melelahkan

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti lebaran tahun-tahun sebelumnya, kami sekeluarga melakukan mudik ke Blitar dan Trenggalek. Blitar dan Trenggalek merupakan kota asal dari Bapak dan Ibu mertua, sedangkan saya sendiri asli Jember. Aktifitas mudik ini saya lakukan semenjak saya menikah. Awal-awal melakukan mudik tepatnya tahun 2011 suasana gembira dan riang sepanjang perjalanan selalu menyertai saya, maklum baru pertama kali melakukan mudik keluar kota yang waktu tempuhnya sekitar 7 jam dalam kondisi jalanan ramai lancar. Rutinitas mudik tahun ini dimulai dari Banyuwangi dimana kami tinggal dan bekerja di kota Gandrung ini. Total waktu tempuh dari Banyuwangi ke Blitar kurang lebih 11 jam dalam kondisi jalanan lancar.

Suasana mudik tahun ini sedikit berbeda dikarenakan kondisi jalanan yang kami rasakan sangat ramai dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sehingga waktu tempuh kami sedikit lebih lama. Kami melakukan mudik selepas pulang kantor pada sore hari, menurut berita yang kami baca pada hari tersebut merupakan puncak arus mudik untuk tahun ini. Kami tidak punya pilihan untuk menghindari hari tersebut mengingat jatah libur dari kantor sudah ditetapkan. Meskipun waktu tempuh pada waktu mudik sedikit lebih lama dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya kami tetap bersyukur bisa selamat sampai Kota Blitar dan Trenggalek. Aktifitas mudik tahun ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan arus balik. Kesabaran kami benar-benar diuji, kami berangkat dari Trenggalek pukuk 9.30 pagi dengan rute Tulungagung, Blitar, Malang, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember dan Banyuwangi. Di Blitar kami mampir sebentar di rumah nenek dari Bapak mertua. Perjalanan Trenggalek-Blitar di tempuh dalam waktu 2 jam. Selama perjalanan menempuh rute Tulungagung-Blitar ada suasana berbeda di dua kota tersebut dalam penanganan arus balik oleh polantas.

Memasuki Tulungagung suasana lalin yang ramai dan banyaknya lampu lalu lintas di pertigaan dan perempatan jalan membuat saya tidak bisa memacu mobil melebihi 40km/jam. Kalaupun bisa memacu kendaraan melebihi kecepatan tersebut tidak bisa dilakukan pada waktu yang lama karena harus melambat oleh lampu merah. Kondisi berbeda terjadi di kota dan kabupaten Blitar, lampu merah di persimpangan jalan pada arus mudik dan balik tahun ini di buat tidak menyala sehingga tidak terjadi penumpukan arus kendaraan karena bagi kendaraan yang akan ke seberang harus berbelok terlebih dahulu mengikuti arus kendaraan dari arah samping. Dengan kondisi seperti ini saya bisa memacu kendaraan saya lebih cepat namun masih dalam batas kecepatan yang wajar untuk dalam kota. Perjalanan lancar dari Trenggalek menuju Blitar tidak diikuti oleh perjalanan di rute berikutnya. Berawal dari kesalahan saya mengambil lajur kanan ketika memasuki double way kota Malang sebelum perempatan yang menuju ke arah RS Lavalette (maklum sudah lama meninggalkan kota malang sejak lulus kuliah tahun 2006). Di depan saya berdiri bapak Polantas yang dengan sigap mengarahkan kendaraan saya untuk berbelok ke kanan. Saya berusaha bernegoisasi dengan memberikan isyarat bahwa saya ingin jalur yang lurus bukan berbelok ke kanan tetapi dengan tegas bapak Polantas menolak permohonan saya sehingga dengan terpaksa saya berbelok ke kanan. Dengan rasa gundah akhirnya saya mengikuti arus menuju ke jalan yang macet parah. Andaikan saya bisa jalan lurus di persimpangan tadi saya bisa melewati fly over kota Malang sehingga waktu tempuh saya bisa lebih cepat. Takdir arus balik saat itu mengharuskan kami terjebak dalam kemacetan yang sangat parah. Bayangkan waktu tempuh dari RS Lavalette Malang menuju jalan di bawah fly over yang jaraknya menurut saya tidak sampai 10 km harus ditempuh dalam waktu 2 jam.

Waktu yang sangat panjang terlebih lagi kendaraan hanya bisa jalan 1 m kemudian berhenti dalam waktu yang relatif lama untuk menunggu bisa jalan lagi. Parahnya lagi dengan kondisi kemacetan yang parah seperti itu tidak ada satupun polantas yang terlihat sepanjang jalan tersebut. Saya baru melihat polantas ketika akan memasuki bagian bawah fly over. Bersyukur telah keluar dari kemacetan parah kami masih diliputi rasa khawatir karena jalan utama kota Malang menuju Purwosari juga ramai meskipun tidak separah yang tadi. Kondisi lelah dan lapar menghampiri kami semua. Makanan ringan yang kami persiapkan tidak mampu menutupi rasa lapar kami, akhirnya dipilihlah restaurant Bakpao Telo. Setelah berjuang melalui kondisi jalanan yang ramai akhirnya kami sampai di restoran tersebut pada jam 9 malam. Rasa letih dan lapar pada kami seakan telah sirna ketika kami turun dari kendaraan dan bergegas menuju tempat duduk untuk memesan makanan. Namun apa yang terjadi harapan kami tidak sesuai dengan kenyataan semua makanan sudah habis. Seketika rasa lapar yang tadi perlahan mulai sirna kini muncul kembali. Akhirnya kami memutuskan untuk mengganjal perut kami dengan bakpao, walaupun bagi kami kalau belum makan nasi maka dianggap belum makan tetapi setidaknya bakpao bisa menambah tenaga kami karena perjalanan masih tinggal setengah. Selepas Purwosari perjalanan lancar tidak ada hambatan apapun dan kami akhirnya sampai di rumah Jember pukul 00.30 setelah menempuh 12 jam perjalanan dari normalnya yang hanya 8 jam perjalanan. Semoga mudik dan balik tahun depan lebih menyenangkan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline