Semesta Sihir Harry Potter kembali hendak menghentak dunia dengan kisah terbarunya. Adalah Fantastic Beasts : The Secret Of Dumbledore, yang hadir pada awal minggu kedua bulan april tahun ini.
Entah karena dunia yang masih berjibaku dengan pandemi, atau sebab ekspetasi terlalu tinggi terhadap film ini. Kenyataannya, terlalu banyak komentar negatif menghujani karya sutradara David Yates yang kesekian kalinya bekerjasama dengan J.K. Rowling tersebut.
Disisi lain, Di sisi lain, beberapa waktu sebelumnya, J.K. Rowling sang pencipta semesta sihir Harry Potter sempat mengirimkan tweet yang dianggap kontroversial mengenai transgender, dan dikatakan menjadi salah satu alasan menurunnya keengganan penonton untuk berbondong -- bondong memenuhi bioskop atas karyanya.
Namun, terlepas dari itu semua, saya akan mencoba menguraikan kegagalan sesungguhnya The Secret Of Dumbledore yang menjadikannya sebagai akhir memilukan. Bahkan Warner Bros mengambil sikap untuk menunda pengumuman film ke empat dari sekuel ini, sebab hasil yang dianggap kurang memuskan.
Dibuka dengan adegan -- adegan apik disertai visual menakjubkan, berlanjut pada sebuah adegan pembunuhan, film ini menjanjikan keseruan sampai dua setengah jam berikutnya. Akan tetapi, alih -- alih keseruan yang didapatkan penonton, justru rasa bosan terhadap tempo cerita yang dianggap terlalu lambat.
Entah kesalahan ada pada saat penulisan scenario atau justru ketika penyutradaraan. Kenyataannya The Secret Of Dumbledore tampak lebih sibuk pada urusan komedi, atau kisah cinta Jacob Kowalski (muggle yang adalah sahabat Newt Scamander) bersama Queenie Goldstein.
Selanjutnya, aroma pertarungan antara pihak Gellert Grinderwald dan Albus Dumbledore juga terasa tidak begitu signifikan ditampilkan. Bahkan hingga pertarungan terakhir, ketika Albus sendiri berhadapan dengan Gellert juga terasa hambar, menyingkirkan drama percintaan yang menurut saya seharusnya di eksplore lebih dalam pada adegan ini.
Film ini juga tidak menyajikan kejutan kejutan pada adegan satu ke adegan lainnya. Sejak menit menit awal, ibarat sebuah pintu terbuka, J.K. Rowling seolah tidak peduli bahwa penonton akan dengan mudah menebak alur cerita. Yang fatalnya, tebakan para penonton ini sudah dipastikan kebenarannya.
Misalnya saja pada saat Credence yang awalnya berada di pihak Gerret diakhir cerita justru balik kanan, dan menghinatinya. Atau Credence sendiri yang ternyata bukanlah saudara Albus, namun keponakannya dari Aberforth juga semestinya sudah dapat ditebak sejak awal.
Perjanjian darah antar Albus Dumbledore dengan Gerret Grinderwald yang pecah diakhir cerita juga bukanlah sebuah kejutan. Kejadian ini sudah bisa dirasakan bahwa pada sekuel keduanya, permintaan sesungguhnya Dumbledore kepada Scamander adalah untuk bisa mengakhiri perjanjian darah tersebut.