Lihat ke Halaman Asli

Dan Jr

TERVERIFIKASI

None

Kisah Si Pengayuh Onthel Tua

Diperbarui: 2 Maret 2022   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

cumahobi.com

Semalam dia baru saja berbicara pada diri, kenapa masih saja bertahan dalam profesi. Belum lagi sempat mendapat jawab pasti, mentari sudah hadir membawa pagi.

Dikayuhnya onthel tua berusaha tidak berkeringat. Apa kata siswanya nanti kalau dia mengajar membawa bau ngengat.

Kenapa tidak pakai sepeda motor saja?

Dulu, sebagai guru teladan, dia diberi hadiah. Sebuah sepeda motor yang harganya tidak murah. Tetap saja, pajak kendaraan setiap tahun menanti. Belum lagi harus pusing mengganti oli. Atau sekedar isi bensin tiga hari sekali.

Memangnya gajinya tidak cukup?

Tadi pagi saja, dia harus saling berbagi. Dua telur digoreng istri, dibagi menjadi empat sisi. Satu bagi sulung yang kini sedang mengejar mimpi menjadi sarjana kedokteran. Satu lainnya untuk si bungsu yang masih SMA, mencari beasiswa untuk sebuah kesempatan.

Angkutan umum?

Dia mengajar di pelosok negeri, bisa melihat listrik menyala saja sudah menjadi kebanggan diri.

Satu kayuhan lagi, tubuh rentanya mengusap keringat didada. Hari ini matahari sedang dalam teriknya. Tapi, impian puluhan generasi bangsa ada di pundaknya.

Inilah kisah pengayuh onthel tua, menjadi seorang guru adalah cita -- cita. Sebuah tujuan mulia mencerdaskan anak bangsa, meski terkadang harus terpenjara dalam gemuruh hidup penuh duka.

Dulu negara pernah berjanji, waktu itu sedang akan ada sebuah pemilihan umum biasanya lima tahun sekali. Meningkatkan taraf hidup mereka berkata dengan perkasa. Walau akhirnya Pak Tua hanya mendapatkan khayal belaka. Tapi Pak Tua tak berhenti, meski terkadang harus mengiris hati.

Adalagi kesempatan untuk menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil. Belum mendaftar dia sudah tertolak sebab usia yang melebihi syarat yang tak adil. Mengutuk takdir semakin tak mungkin. Dia hanya berdoa, berharap semesta ikut berucap amin.

Lalu apa yang diharapkannya kini?

Selain mewujudkan mimpi bangsa, ya tidak ada. Bukankah guru memang selalu disebut tanpa tanda jasa. Meski nama mereka tidak akan pernah ada dalam sejarah bangsa. Tanpa mereka, tidak akan pernah ada cerita sebuah negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline