Hari ini tepat Sembilan puluh tahun lalu, disalah satu kawasan Batavia disebutlah Sumpah Pemuda, isinya kurang lebih sebagai berikut ;
- Kami Putra - Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia
- Kami Putra - Putri Indonesia mengaku Berbangsa satu, Bangsa Indonesia
- Kami Putra - Putri Indonesia menjunjung Bahasa Persatuan, bahasa Indonesia
Sumpah tersebut, digelorakan demi mempersatukan bangsa merebut kemerdekaan dari para penjajah. Saat itu juga, untuk pertama kali dalam sejarah lagu Indonesia Raya dikumandangkan yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Republik ini.
Tapi, harus kita akui bahwa gelora sumpah pemuda itu tidak sehebat peringatan proklamasi kemerdekaan. Untuk memperingati hari kemerdekaan, kita seringkali berkumpul bahkan hingga larut malam berpesta bersama. Jalanan dipenuhi pawai siswa -- siswi dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Tapi, sumpah pemuda sebagai salah satu awal pemicu kemerdekaan itu sendiri seolah terlupakan.
Coba saja bayangkan, apa jadinya jika tidak pernah ada sumpah pemuda itu. Saat ini setidaknya kita punya tiga puluh empat provinsi dengan kebudayaan dan bahasa yang berbeda. Bahkan, dalam satu provinsi saja bisa ditemukan lebih dari empat budaya dan bahasa yang berbeda, padahal kebudayaan dan bahasa itu asli dari provinsi tersebut.
Bagaimana, jika bahasa Indonesia tidak pernah diakui sebagai bahasa pemersatu, bahasa utama yang digunakan di negeri ini. Bagaimana kalau suku batak, jawa atau dayak justru memilih diri mereka untuk menjadi bangsa sendiri, bukan bangsa Indonesia. Atau yang lebih parah, tidak daa pengakuan bahwa semua provinsi ini berada dalam kandungan ibu yang sama yaitu Indonesia. Apakah kita masih bisa membanggakan diri sebagai Bangsa dengan daerah terluas, kebudayaan dan bahasa terbanyak didunia?
Bukankah dengan sumpah pemuda, kita justru jauh lebih baik daripada Amerika yang memilih menjadi federasi? Padahal mereka punya kebudayaan, warna kulit, bahkan bahasa yang tidak berbeda. Ya! Tanpa Sumpah pemuda, kita bisa saja berdiri di Negara federasi seperti Republik Indonesia Serikat misalnya. Setiap Negara bagian hanya berpikir tentang kepentingan wilayahnya sendiri, menjadi individualistic!
Coba tanyakan pada diri anda, benarkah kita masih benar -- benar mengingat isi sumpah pemuda? Bukankah belakangan yang terjadi adalah kekacauan budaya yang disebabkan kita sendiri? Bagaimana bahasa "anak jaksel" menjadi tren menggeser posisi bahasa Indonesia lebih jauh lagi dari peradaban kita.
Bagaimana, ketika kita tidak mengakui bahwa peranakan yang lahir di Indonesia sebagai saudara sebangsa kita.
Sekarang, lihatlah. Bukan untuk pertama kali Bumi Pertiwi meraung -- raung meminta pengakuan dari anak yang dikandungnya sendiri. Anak yang menjatuhkan air mata pertamanya diatas bumi nusantara, tapi seringkali menjadi asing dipelukan ibunya sendiri. Bukankah kita punya sesuatu yang sempurna untuk diperjuangkan? Bukankah Pancasila sebagai ideologi kita mengajarkan persatuan dalam perbedaan.
Hari ini, kita sudah terkoyak akibat setidaknya perbedaan pandangan politik. Negeri ini berubah menjadi bangsa isu. Semua isu dikumpulkan menjadi isu politik, demi menghajar lawan. Bhineka Tunggal Ika seolah menjadi khayalan belaka, kita sudah terbelah sejak tahunan lamanya.
Kemudian, masihkah kita merasa perlu sumpah pemuda 28 Oktober 1928 itu?