Lihat ke Halaman Asli

Dan Jr

TERVERIFIKASI

None

Sebuah Pengakuan

Diperbarui: 12 Oktober 2017   13:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika aku harus bersembunyi dibalik cinta, tidak tergoyah dalam rindu yang menyiksa. Menatapmu berdua, bersama dia yang aku bahkan tidak bisa seperti. Lalu, aku mengembara mencari hati lain mencoba bahagia dan melupakanmu. Saat itu tiba, kau hadir dengan senyuman, harapan dan cinta baru. Kau bercerita, kau disakiti oleh dia yang tidak mengerti cinta, dia yang menolak untuk setia. Kau menangis, membasahi wajahku yang juga tersakiti melihatmu menderita. Tapi, aku tidak sendiri lagi. Aku sudah bersama satu hati yang kupilih, meski bukan kucinta. Kau membangkitkan rasa yang sudah terkubur dalam diperut bumi, menghentak segala gairah tersembunyi dan memaksaku memilih dalam sebuah persimpangan.

Haruskah aku berkhianat seperti dia, haruskah aku tidak mengerti arti cinta dan menolak setia. Meski hati itu tak pernah kucinta, meski hati itu tahu ia hanya sebagai pelampiasan rasa. Tapi aku tidak mungkin meninggalkannya, hanya karena kau mencoba membuka hatimu.

Tapi, aku tak berdaya. Saat malam kau mencumbu, mengoyak segala pertahanan yang sudah kubangun untuk tidak menyerah. Lalu kita terbenam pada lautan dosa, berpeluh menyingkirkan norma. Kau dan aku akhirnya menjadi satu, tidak terpisah oleh dunia, meski akhirnya tak bersama dalam menuju mati.

Dihari lain, malam yang tidak sama aku meninggalkanmu, bercumbu dengan ia. Mencoba mencari cinta yang mungkin memilih ia, meski akhirnya aku gagal. Aku terjebak, dalam satu, dua, bahkan tiga hati yang tidak mengizinkanku untuk memilih. Hati ini bagai rusa yang mencari jalan keluar bertahan hidup setelah tertusuk panah pemburu. Meronta, memaksa membebaskan diri walau akhirnya tewas menjadi onggok tak berguna.

Siapa yang aku khianati, kau, ia atau hatiku sendiri. Haruskah aku tetap berbohong. Menipu ia dan kau, menipu aku dan hatiku.

Lalu, kita duduk. Ada ia, kau dan aku. Mencoba berucap dalam keheningan. Aku ingat betul, bagaimana belasan pasang mata menatap kita bertiga. Entah apa yang mereka pikirkan. Tiga pria mencoba mencari jalan dalam cinta yang meruntuhkan sekat sosial mengutuk sebuah hubungan yang tak biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline