Lihat ke Halaman Asli

Damri Hasibuan

Guru dan Penulis

Sagu di Rumah Sultan

Diperbarui: 9 Juli 2023   08:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Setelah sampai tujuan, aku pun turun. Begitu juga dengan Baba Yusuf dan anaknya. Selasar luas yang berada persis di pinggir jalan sudah penuh dengan mobil-mobil mewah para tamu. Aku melihat mereka keluar dari kenderaan yang mengkilap itu. Saat yang bersamaan, aku masuk setelah berjalan sedikit dari tempat parkir.

Tidak jauh beda dengan rumah Baba Fahad tadi. Tamannya asri penuh dengan pohon kurma yang sedang berbuah. Hanya saja aku melihat di lahan yang luas ini ada dua bangunan rumah mewah. Tidak tahu punya siapa. Apakah milik Baba Badr atau anaknya? Tanpa mengganggap itu penting, aku bersama tamu lainnya diarahkan ke salah satu bangunan yang paling mewah bak istana. Tidak kalah mewahnya dengan rumah Baba Fahad. "Ayok ke sini." Baba Badr mengiringi langkah kami menuju ruang tamu.

Aku merasa seolah berada di hotel bintang lima. Sofanya yang terlihat empuk membuatku lekas duduk. Ingin merasakan sensasinya. Setiap dinding tampak mengkilap. Cermin yang menempel di sebelah kanan, membuat ruangan ini tampak lebih luas. Meski demikian, karena tetamunya banyak, akhirnya ada yang di sini. Sebagian lagi di ruang sebelah. Aku tidak tahu ruangannya seperti apa.

Tidak selama menunggu di rumah Baba Fahad. Begitu sampai, makanan berat pun mulai disuguhkan. Kali ini nasi briyani dengan ikan. Selain itu, aku melihat ada beberapa makanan yang ditaruh di dalam piring. Akan tetapi, tidak tahu namanya apa. Sebab aku belum pernah melihat makanan yang seperti itu. 'Kayaknya enak, ya?' batinku. Aku sudah tidak sabar melahapnya.

"Ayok kita mulai makan lagi, Mutawwa'," ajak Baba Yusuf lagi. Aku yang duduk bersebelahan dengannya mengangguk tanpa berucap. Dia pun berdiri kemudian mengambil posisi di sampingku. Meski banyak orang di sini, tetapi aku tidak tahu Baba Yusuf terus yang ada di sampingku. Apakah itu sebuah kebetulan? Aku tidak tahu.

Tanpa basa-basi, kami pun mulai menyantap makanan yang ada di atas nampan. Namun, karena posisiku agak sedikit jauh dari nampan, Baba Yusuf berkata, "Mendekat lagi, Mutawwa'." Aku pun bergeser sedikit ke kiri agar lebih dekat ke wadah nasi. Kami bertiga sama satu lagi namanya Baba Khalid. Dia juga jemaahku yang lumayan asyik karena ingin diajak bicara.

Piring yang berisi makanan warna sedikit kecoklatan itu diambil Baba Khalid. "Ini enak, loh," ucapnya sembari menyendok. Ia pun menyuapkan makanan itu ke mulutnya. Aku yang melihat dia, tidak tahu rasanya seperti apa. Sebab penasaran, aku pun mencolek sedikit. Setelah kucoba, rasanya bagiku aneh. Asem sama ada sedikit rasa yang tidak bisa kujelaskan namanya. Aku mau muntah, tetapi berhasil kutahan demi menjaga perasaan.

Sementara itu, Baba Yusuf menggeser piring yang berisi makanan yang ada di sebelah kananku. "Cobain ini, Mutawwa'," katanya padaku. "Kamu tahu itu namanya apa?" Aku menggelengkan kepala. "Ini namanya sagu." Mendengar itu aku sedikit terperangah. Kok bisa ya ada di negeri sultan ini makanan khas Papua? batinku sembari mencicipinya. Aku penasaran bagaimana rasanya. Soalnya, seumur hidup aku belum pernah makan sagu karena tidak terlintas dalam pikiran untuk mencobanya.

"Enak, Baba. Cobain, Baba pasti suka," tawarku ke Baba Yusuf. Meskipun tadi ada di dekatnya dan menawarkan padaku, tetapi dia sendiri belum menyentuhnya sama sekali. Aku juga melihat dia lebih menikmati nasi yang tersedia di dalam nampan.

Wajahnya ragu seolah tidak percaya apa yang kuucapkan. Namun, karena sagu sudah kudekatkan dia pun mencobanya. "Hmmm, iya, enak." Dia mengacungkan jempolnya. Aku pun tersenyum melihatnya senang. "Kalau gak salah ini banyak di negaramu?" Dia tampak ragu-ragu, sambil mengunyah.

Aku yang sedang menikmati sagu berkata, "Iya Baba. Banyak di Indonesia, tapi aku sendiri belum pernah rasakan," ucapku malu. "Karena ini memang makanan khas Papua," tambahku. Tampaknya Baba Yusuf paham kalau alasanku logik kenapa aku belum pernah makan sagu. Ia tahu kalau Indonesia negaranya luas dan aku pernah cerita kalau aku tinggal di Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline