Lihat ke Halaman Asli

Damri Hasibuan

Yang haus akan ilmu itu adalah para penuntut ilmu itu sendiri

Perspektif Ulama Fikih terhadap Lembaga Filantropi (Respons terhadap Lembaga ACT)

Diperbarui: 12 Juli 2022   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sering kita temukan lembaga mengatasnamakan wadah untuk mengumpulkan sedekah, wakaf dan bantuan kemanusiaan lainnya yang disebut dengan Filantropi. Lembaga-lembaga itu dan yang semisalnya sudah pernah ada mulai dari zaman Nabi. Artinya bukan saja baru muncul di akhir abad ini. Apalagi baru baru ini lagi viral salah satu lembaga cukup kesohor jadi bahan pembicaraan masyarakat akibat honor para pengurus lembaga tersebut sangat fantastis sekali, sampai-sampai bisa meraup ratusan juta perbulan.
 
Oleh karena itu, masalah ini tidak luput dari pandangan fikih bagaimana upah yang boleh diambil dari akad yang sistemnya mirip akad ju'alah. Yakni, janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan (reward/iwadh//jul) tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
 
Masalah memberikan upah kepada petugas pengumpulan donasi derma sosial ummat sudah cukup lama di bahas di Indonesia, termasuk hasil muktamar NU ke-2 tahun 1927 di Surabaya dan dikaji ulang lagi pada muktamar ke-26 tahun 1979 di Semarang dengan merujuk kepada kitab-kitab fikih klasik.
 
Adapun kitab yang menjadi referensi pada putusan di atas antara lain; Hasyiyah Syirwani, Bugyatul Mustarsyidin. Dan hasilnya adalah, jikalau ada akad yang isinya "Siapa yang mengumpulkan dana donasi dari masyarakat maka dia dapat sekian persen dari hasil pemungutan tersebut, maka akad tersebut akad yang tidak sah (fasid) dan para pekerjanya hanya boleh dapat upah standar UMR."
 
Jadi, dari setiap petugas pengumpul donasi umat, para ulama fikih seperti pendapat yang terkemuka di atas, tidak memperbolehkan mengambil upah melebihi upah standar UMR. Yang jadi pertanyaan apakah ratusan juta yang diambil petugas lembaga tersebut masih dalam koridor upah standar UMR? Sementara itu sudah tergolong upah yang sangat jauh diluar batas UMR. Lalu atas dasar apa pengurus yang dimaksud, honornya melebihi jauh di atas batasan yang diberikan para ulama fikih?
 
Setiap umat Islam semestinya terus merujuk kepada ulama Islam untuk menjawab setiap permasalahan agar tidak terjerumus kepada dosa besar dengan sebab sudah memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. Hal ini sangat keras ancamannya dalam Hadis Nabi Saw:

: ,  : : .
Rasulullah bersabda, "Akan dibangkitkan pada hari kiamat suatu kaum dari kuburannya, berkobar-kobar api di mulutnya. Lalu seorang sahabat bertanya, siapa mereka ya, Rasulullah? Rasul menjawab:  Tidaklah kamu mengerti bahwa Allah telah berfirman :

.

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya." (HR. Abu Ya'laa)

Hadis lain menyebutkan:

, :   .
Ketika Nabi mengisahkan tentang Isra' Mi'raj yang diambil dari kitab Shahih Muslim. "Tiba-tiba Rasulullah bertemu dengan para lelaki, mereka diserahkan kepada orang lain yang membuka rahang mereka, berdatangan dengan membawa batu besar dari api neraka dan melemparkan kepada para lelaki itu. Kemudian batu itu keluar melalui dubur-dubur para lelaki itu. Maka Rasulullah bertanya," Wahai Jibril siapa mereka?" Jibril berkata, "Mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api neraka."  
 
Dengan itu, sungguh miris, jika setiap organisasi masih selalu gaduh kalau bicara soal uang. Bahkan yang lebih mirisnya lagi, jangankan sebesar uang yang dikelola lembaga sosial yang dimaksud, uang yang dikelola panitia sekecil acara atau kegiatan rapat sekalipun, bisa menjadi pertengkaran. 

Uang sangat sensitif dan rentan. Maka, hati-hati dengannya. Sebab, dengan uang, siapapun bisa kaya. Tapi ingat, banyak orang terlibat napi hanya gara-gara uang. Dan siapapun bisa kalap mata karena uang. Itulah sebabnya, selain organisasi, setiap individu juga butuh  kekayaan harta. Tapi lebih dari itu jauh lebih baik dan lebih dibutuhkan jika pengelola dari setiap lembaga itu individunya yang kaya jiwa. Seperti petuah Nabi, kaya yang sesungguhnya adalah kaya jiwa bukan kaya harta!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline