Lihat ke Halaman Asli

Damri Hasibuan

Yang haus akan ilmu itu adalah para penuntut ilmu itu sendiri

Batasan Toleransi dalam Islam

Diperbarui: 3 Juli 2022   22:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terminologi toleransi sudah lazim diketahui banyak orang bahwasanya toleransi secara sederhana adalah saling menghargai dan menerima perbedaan pendapat.  Namun yang menjadi problemnya adalah sejauh mana seseorang bisa bersikap toleran dalam setiap perbedaan. Apakah ada batasan-batasan toleran tertentu dalam  Islam? Di mana dalam dinamika antara umat beragama tidak lepas dari dimensi kehidupan sosial, budaya, dan akidah.

Ketiga dimensi tersebut tidak terlepas dari yang namanya perbedaan. Dari segi sosial dan budaya misalnya. Sudah menjadi hukum alam, dengan berbedannya lingkungan hidup seseorang, dapat  mengakibatkan perbedaan sosial dan budayanya. Budaya keras dan lembut lahir dari lingkungan yang keras dan lembut. Sosial yang ramah, tumbuh dari lingkungan yang ramah pula. Seorang yang agamis, biasanya tumbuh dari lingkungan agamis.

Dari keberagaman dan kemajemukan manusia atau umat, sejauh mana Islam bisa bersikap toleran? Benarkah Islam tidak mempermasalahkan toleran selain ketika berkaitan dengan akidah?

Semisal orang muslim pergi ke gereja, atau orang kristen masuk ke mesjid atau sekedar mengucapkan selamat tahun baru Masehi. Atau menghakimi keyakinan orang lain dan berbagai polemik lainnya yang dapat mengundang pertikaian dan merusak keharmonisan antar sesama.

Menurut Buya Yahya, dalam sebuah ceramahnya di akun YouTube-nya menyatakan bahwasanya toleransi hanya ketika berhubungan dengan selain ranah akidah. Tidak ada tawar menawar dalam dalam akidah. Beliau menyampaikan bahwa surat Al-Kafirun dari ayat 1-6  dengan eksplisit berbicara tentang keyakinan. 

Di mana kata nafi atau penidakan dalam ayat tersebut  jelas tidak boleh bagi setiap muslim menyembah sesembahan umat lain. Lalu surat ini ditutup dengan "bagimu agamamu bagiku agamaku." Dari situ jelas, tidak ada toleransi kalau sudah berbicara keyakinan. Itu sudah paten.

Muhammad Sayyid Thantawi (Mauqiful Islam minal 'Unfi wal 'Udwan Wantihaki Huquqil Insan) sangat toleran dalam sosial kebudayaan. Namun ketika menyinggung akidah, beliau intoleran. Karena ayat Al Haj 39-40 menjelaskan boleh diperangi orang yang berbuat zhalim sampai ia meng-Esakan Tuhan. Dengan itu, tidak boleh bagi umat Islam mencampuri urusan agama lain, demi terjalinnya kerukunan antar sesama umat beragama.

 Muhammad Al Ghazali (Huququl Insan Bayna Ta'limil Insan wa I'lani Umamil Muttahidah) mengatakan bukan hanya ranah kemasyarakatan saja yang harus ditoleransi seorang muslim. Bahkan, ketika toleransinya menyangkut akidah juga, selagi dia masih tetap dalam keyakinannya, masih tetap mengerjakan perintah Tuhannya. Karena tidak serta merta menjadikan dia masuk Kristen atau agama lain.

Ibrahim Madkur (Huququl Insan fil Islam) Sejatinya Islam adalah agama yang paling toleran. Tidak ada bandingannya. Dia membuka pintu seluas-luasnya untuk berbaur antar sesama umat yang lain. Dia juga tidak membatasi keberbauran itu. Mulai dari jual beli, politik, budaya. Bahkan diperbolehkan bagi yang non muslim untuk mendirikan Katedral berdampingan dengan mesjid ataupun musholla dan madrasah.  Mendirikan atribut keagamaan antar umat beragama boleh dilakukan secara berdampingan. Tapi toleransi Islam baru sebatas itu saja.

Sampai disini belum penulis temukan bahasan secara spesifik apakah boleh seorang muslim salat di Gereja atau seorang Kristen salat di Mesjid atas nama toleransi, selain hanya satu Hadis Nabi yang menjelaskan bahwasanya Nabi pernah membiarkan orang Nasrani salat di Masjid Nabawi. Namun setelah diteleti statusnya sangat lemah. Tidak patut dijadikan sebagai landasan toleransi Islam. Karena menyalahi  Al-Qur'an, Surat Al Jin:18, yang mengatakan masjid hanya sebagai sarana untuk meng-Esakan Tuhan. Sementara Yahudi mereka penganut Trinitas. Sebagaimana yang dipotretkan oleh Al Maidah.

Toleransi Islam terakit akidah tampaknya tidak pernah selesai diperdebatkan. Mun'im Sirry (Polemik Kitab Suci Al-Qur'an) Ia merasa aneh bagi orang yang menganggap kalau toleransi hanya sebatas sosial saja. Berangkat dari pemahaman defenisi dari toleransi itu sendiri, beliau mengatakan bahwasanya kita harus respek terhadap perbedaan, meskipun ia berkaitan dengan akidah dan kultur sosial budaya. Karena tidak mungkin semuanya harus sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline