Lihat ke Halaman Asli

Dr. Damos Agusman

Rechtswissenschaften Universität Frankfurt

Kisruh Tuduhan "Suap" Australia kepada Kapal Pengungsi

Diperbarui: 17 Juni 2015   05:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber Photo: www.bbc.com

 

Politik Australia sedang hangat karena Pemerintahan Abbott sedang kalap. Dia kalap karena temuan Polisi Indonesia yang mengindikasikan bahwa Otoritas Australia “menyogok” awak kapal pengungsi yang mencoba masuk ke Australia. “Sogokan” ini dimaksudkan agar awak kapal membawa para pengungsi tersebut ke Indonesia. Sesampai di Indonesia, aparat Indonesia menangkap kapal ini dan melakukan investigasi, dan ditemukanlah pengakuan awak kapal tentang “sogokan” ini.

Tentu saja berita ini menggegerkan publik Australia. Partai oposisi menanyakan kebenaran berita ini kepada Pemerintah Australia, dan jawabannya membingungkan dan tentu mencurigakan. Menlu Bishop semula menyangkal, namun keudian PM Abbott berusaha “ngeles” dengan mengelak menjawab ya atau tidak. Cara mengelaknya menimbulkan pertanyaan ketimbang jawaban. Pada waktu didesak tentang iya atau tidak, PM Abbott malah berkilah bahwa dia tidak ingin menjawab masalah-masalah operasional.

Situasi bertambah panas di Canberra karena Indonesia juga berhak untuk tahu kebenaran cerita ini. Menlu Retno Marsudi bertanya dengan kalem, “apa sebenarnya yang terjadi”? Namun karena sudah keburu kalap pertanyaan normatif Menlu Retno Marsudi membuat Australia semakin tidak fokus. Menlu Bishop tanpa juntrungan yang jelas bukannya menjawab pertanyaan malah menjadikan Indonesia kambing hitam, dengan mengatakan Indonesia gagal mengkontrol perbatasannya. Sampai disini Australia semakin kehilangan rationalitas dalam komunikasi diplomasinya.

Akibatnya publik Australia semakin penasaran dan perdebatan di Parlemen semakin tajam. Kulminasinya adalah pada saat Wapres Jusuf Kalla mengeluarkan pernyataan keras bahwa tindakan Australia ini sudah mengarah pada “penyuapan oleh Negara” dan sangat bertentangan dengan etika bernegara.

Soal pengungsi memang membuat Australia semakin terpuruk di mata dunia. Kecaman dari berbagai penjuru mengarah kepada kebijakan Australia yang sangat tidak popular terhadap pengungsi. Sebagai pihak pada Konvensi tentang Pengungsi 1951, Australia nyaris tidak lagi “memperdulikan” kewajiban-kewajibannya. Misalnya, Konvensi menganut prinsip “non-refoulment” yakni melarang pemulangan pengungsi ke negara asalnya, Australia malah mendorong balik para pengungsi (pushback policy) dan bahkan bangga dengan kebijakan ini. Sebagai negara pihak Konvensi, seyogianya Autralia memilah-milah mana pengungsi dan mana mingrasi dengan motif ekonomi, namun yang terjadi justru me-“gebyah uyah” alias pukul rata semua migrasi. Pokoknya semua kapal harus di stop dan di dorong kembali ke laut dan bahkan lantang mengatakan “no to Rohingya”.

Kebijakan ini sangat kontras dengan Indonesia, yang bukan pihak pada Konvensi tentang Pengungsi tahun 1951. Australia yang selama ini dikenal sebagai pelopor HAM ternyata harus takluk dengan dunia realitas HAM itu sendiri. Indonesia yang selama dekade lalu dikecam oleh Australia sebagai pelanggar HAM justru menampilkan diri sebagai negara yang manusiawi manakala menghadapi realitas. Pada saat ribuan arus pengungsi Rohingya dan Bangladesh terkatung-katung di Selat Malaka bulan Mei 2015 yang lalu, Indonesia dengan alasan kemanusian menerima dulu para pengungsi dan menempatkannya di Aceh sekalipun tidak memiliki kewajiban itu. Ironisnya, Australia yang justru memiliki kewajiban ini menyatakan “no to Rohingya”.

Pada saat kebijakannya sedang dikecam, sekarang muncul tuduhan “penyuapan”. Sampai saat ini Australia tidak berani mengakui atau menyangkalnya, maka sempurnalah aib dari kebijakan ini. Setelah melanggar Konvensi tentang Pengungsi 1951, Australia menabrak Protokol TOC tentang Penyelundupan Manusia lewat Laut, 2000 (Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air). Prof. Don Rothwell, pakar hukum Australia sendiri sudah menilai bahwa Australia melanggar Protokol ini. Perbuatan Australia yang “menyuap” awak kapal justru adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Protokol ini. Menurut Protokol ini, Australia harus menjadikan kriminal perbuatan setiap orang yang berpartisipasi untuk terjadinya penyelundupan manusia, atau mengarahkan orang untuk melakukan perbuatan penyelundupan itu.

 Jika aparat Australia benar “menyuap” awak kapal maka setidak-tidaknya terdapat dua persoalan serius yang sudah terjadi. Pertama, Australia melakukan perbuatan yang justru harus dikriminalisasi oleh negara pihak Protokol. Dalam hal ini, Australia bekerjasama dengan para Smugglers melakukan perbuatan yang dilarang oleh Protokol. Ini tentu sangat ironis, karena Australia yang seyogianya memberantas para penyelundup manusia justru berkolaborasi dengan pelaku kriminal ini. Kedua, jika Australia tetap tidak membantah, atau tidak menuding bahwa ini adalah ulah-ulah oknum aparatnya, maka perbuatan ini jelas dilakukan oleh institusi Negara. Jika ini perbuatan negara maka tidak dapat dibayangkan bahwa bukan para perorangan atau organisasi tapi justru institusi negara yang menjadi pelaku kriminal yang dilarang oleh Protokol ini. Protokol ini sendiri tidak mengantisipasi bahwa hal ini akan terjadi, membayangkannya pun tidak karena hampir mustahil. Tapi Australia mendemonstrasikan bahwa hal ini mungkin.

Kita tidak tahu sampai kemana guliran masalah ini akan mengalir, dan bagaimana PM Abbott keluar dari dilema ini. Namun yang pasti kejadian ini menorehkan sejarah buruk bagi pemberantasan kejahatan lintas negara. Negara yang diharapkan merupakan penegak hukum bagi para penjahat lintas negara, seperti penyelundupan manusia, telah menjadi bagian dari mafia ini. Menuding Indonesia bukanlah sikap yang bijak karena akan mencerminkan pepatah “buruk muka cermin dibelah”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline