Lihat ke Halaman Asli

Dr. Damos Agusman

Rechtswissenschaften Universität Frankfurt

Penenggelaman Kapal Nelayan Asing: Mengapa Harus Jadi Heboh?

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1418130981518031265

[caption id="attachment_381671" align="aligncenter" width="624" caption="Kapal nelayan asing yang disita. (KOMPAS/Agustinus Handoko)"][/caption]

Publik Indonesia dihebohkan oleh tindakan penenggelaman kapal asing oleh aparat hukum Indonesia. Bahkan pada saat masih jadi wacana, kehebohan ini sudah muncul. Kehebohannya bercampur aduk. Ada yang heboh karena menganggap ini tindakan yang "luar biasa", alias belum pernah terjadi dan bahkan terpikirkan. Ada juga yang menjadikan ini heboh politis, yaitu ingin memotret wacana ini sebagai gaga-gagah-an dan ada yang heboh sinis bahwa ini hanya "gertak sambal".

Namun heboh yang paling kental adalah kekuatiran bahwa tindakan penenggelaman ini akan menimbulkan gejolak, reaksi keras dari negara-negara warga sang nelayan. Ada ketakutan bahwa negara-negara yang kapalnya ditenggelamkan akan mengambil tindakan balasan. Bahkan mengait-ngaitkan dengan pelanggaran HAM, pelanggaran hukum, dan tindakan tidak manusiawi, dan lain-lain.

Mengapa publik Indonesia jadi heboh? Mungkin ini disebabkan adanya beberapa paradigma yang salah yang mengkristal di masyarakat. Pertama, tindakan hukum terhadap WNA selalu diartikan tindakan permusuhan terhadap negara dari WNA tsb. Paradigma yang keliru ini telah mengakar di publik Indonesia. Coba perhatikan. Tindakan hukum terhadap WNI di luar negeri pasti cenderung diartikan sebagai sikap permusuhan terhadap Indonesia dan mengusik harga diri Indonesia. Berita adanya penangkapan dan penindakan terhadap nelayan Indonesia di luar negeri akan menjadi identik dengan sikap meremehkan bangsa Indonesia. Akibatnya, parameter yang sama menjadi terbenak dalam pikiran kita sehingga kita takut dan kuatir jika penenggelaman kapal asing ini akan mengusik negara lain, akan menghina bangsa lain, dan kuatir akan pembalasan mereka. Ini mengakibatkan peristiwa ini menjadi heboh. Padahal, perbuatan WNI di luar negeri tidak identik dengan perbuatan negara RI. Tidak mungkin WNI yang merampok di luar negeri menjadi identik dengan negara Indonesia menjadi perampok juga. Logika ini menjadi keliru.

Kedua, sebagian publik Indonesia memaknai istilah "penenggelaman kapal" dari kamus bahasa awam, yaitu: begitu aparat hukum ketemu kapal asing yang mencuri ikan langsung ditenggelamkan berserta awak kapalnya. Jadi terkesan sebagai tindakan brutal yang kental dengan kekerasan. Seharusnya, istilah ini dimaknai sebagai jargon hukum karena memang ada undang-undangnya. Penenggelaman kapal adalah tindakan hukum dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum pula. Aparat hukum berdasarkan bukti permulaan yang cukup diberi kewenangan oleh UU Perikanan untuk mengambil "tindakan khusus" terhadap kapal nelayan ilegal. Tindakan khusus ini termasuk pembakaran dan penenggelaman. Jika ini dimaknai sebagai tindakan hukum maka tidak perlu kuatir karena tindakan ini adalah biasa serta masih didalam koridor hukum.

Ketiga, publik Indonesia sering terlalu cepat bereaksi dan langsung berteriak "melangar kedaulatan" manakala kapal asing mencuri di laut Indonesia. Paradigma kelirunya adalah bahwa perbuatan warga asing di NKRI selalu berkonotasi dengan kedaulatan. Tanpa disadari publik Indonesia telah membuat makna "kedaulatan" menjadi inflasi dan sebaliknya membesar-besarkan suatu peristiwa yang sebenarnya hanya suatu pelanggaran hukum oleh warga biasa. Warga asing yang mecuri ikan atau pesawat sipil yang melintasi ruang udara Indonesa tanpa ijin adalah pelanggar hukum bukan pelanggar kedaulatan. Hanya negara yang bisa melanggar kedaulatan. Individu melanggar kedaulatan adalah mustahil. Seorang individu, sehebat-hebatnya dia, hanya bisa melanggar hukum. Pelanggaran kedaulatan hanya terjadi jika negaranya menghalangi Indonesia untuk melakukan penegakan hukum terhadap warganya di wilayah NKRI. Misalnya, kapal negara asing menghalangi penegak hukum Indonesia pada saat mengejar kapal nelayannya.

Dengan paradigma yang keliru ini maka setiap tindak pidana nelayan asing selalu dikait-kaitkan dengan kedaulatan. Akhirnya, publik digiring untuk berfikir bahwa peristiwa ini akan berujung pada persoalan hubungan antara dua negara berdaulat. Inilah yang menyebabkan publik dibayang-bayangi oleh kekuatiran bahwa penenggelaman ini berpotensi melahirkan perang antar negara, karena menyangkut usik mengusik kedaulatan. Padahal peristiwa ini adalah murni tindak pidana di wilayah RI yang kebetulan dilakukan oleh warga asing. Artinya, kedaulatan harus dimaknai secara proporsional bukan malah mereduksi arti originalnya. Jika tidak, maka proses penegakan hukum Indonesia atas kapal-kapal nelayan asing akan mengalami distorsi kedaulatan dan menghambat proses hukum itu sendiri.

Disortsi kedaulatan ini juga merambah ke cara pandang publik terhadap pulau-pulau terluar. Publik sering berteriak bahwa kedaulatan Indonesia akan terancam akibat banyaknya orang asing di suatu pulau Indonesia. Keberadaan orang asing di suatu pulau yang sudah bertuan (bukan terra nellius) tidak mungkin menciptakan klaim kedaulatan, kecuali yang hadir di pulau itu adalah negara asing alias pendudukan asing. Keberadaan orang Indonesia di Suriname dan Madagaskar tidak pernah melahirkan klaim kedaulatan Indonesia di dua negara tersebut. Ketakutan akan kehilangan pulau menjadi sosok hantu, yaitu dipercaya keberadaannya tapi tidak nyata. Padahal semua pulau-pulau terluar Indonesia sudah terdaftar ke PBB dan tidak mungkin diklaim oleh Negara asing. Dengan okupasi pun negara asing tidak mungkin mencaplok pulau Indonesia kecuali hukum internasional sudah berubah. Hukum internasional saat ini akan menolak keabsahan negara menduduki wilayah asing, betapa pun kuatnya dia bercokol. Buktinya, kurang apa efektifnya Indonesia menguasi Timor Timur sejak tahun 1975-1999, namun tetap tertolak oleh hukum internasional yang berlaku.

Apakah kehebohan ini berujung pada ketegangan hubungan Indonesia dengan negara-negara yang kapal nelayannya ditangkap dan ditenggelamkan? Diluar dugaan, negara-negara itu anteng-anteng aja. Reaksi negara-negara cenderung memaknai persoalan ini sebagai penegakan hukum di Indonesia, bukan penegakan kedaulatan melawan negara si nelayan. Penegakan hukum ini terjadi di semua negara. Setiap hari semua negara pasti berurusan dengan penegakan hukum di wilayahnya dan tersangkanya mungkin warga asing. Ini peristiwa keseharian yang tidak perlu dihebohkan.

Namun di lain pihak, kehebohan ini tampaknya perlu. Konon peristiwa ini akan membuat efek jera. Kelihatannya efek jera ini terbukti karena banyak kapal-kapal nelayan asing yang ilegal mulai ngacir dari perairan Indonesia. Jika ini motivasinya, maka kehebohan ini sangat bermanfaat. Baik publik maupun para pencuri ikan sama-sama heboh. Namun apakah negara-negara lain akan turut heboh? Ternyata tidak tuh, karena negara-negara terkait merasa tidak terlibat dengan atau berkoalisi dengan para pencuri ikan ini. Kalau begitu, kita sedang menari dengan irama gendang kita sendiri dan kita tidak perlu mengajak negara-negara lain ikut menari pada irama ini. Pesan moral dari cerita ini adalah, Indonesia harus melakukan penegakan hukum secara sendiri dan mandiri di wilayah kedaultannya tanpa harus tenggang rasa terhadap negara tetangga. Penegakan hukum di wilayah kedaulatan adalah persoalan dalam negeri yang harus dilakukan Indonesia tanpa harus meminta persetujuan dari negara lain.

****

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline