Dosen atau "Profesor" yang berada di posisi berkuasa harus menggunakan kekuasaan tersebut dengan bijaksana dan penuh tanggung jawab.
Kasus-kasus pemanfaatan mahasiswa, khususnya mahasiswa perempuan, oleh dosen merupakan pelanggaran HAM berat. Kasus ini mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan yang terjadi di lingkungan pendidikan, di mana seharusnya dijunjung tinggi nilai integritas dan kejujuran. Bagi saya, sanksi pemecatan merupakan hukuman yang terlalu ringan, dan seharusnya sanksi tersebut diperberat. Dosen yang terlibat dalam tindakan tidak senonoh seperti ini seharusnya dibawa ke pengadilan dan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku, karena tindakan ini merusak mentalitas, martabat, dan masa depan mahasiswa.
Kekerasan dilakukan dalam posisi di mana Syarif Maulana (dosen) berada di posisi yang berkuasa. Dalam konteks ini, ia berada di kelas filsafat (kelas isolasi) yang didirikan oleh dirinya sendiri. Maka dari itu, pelaku dapat memberikan tekanan seperti ancaman menjatuhkan nilai.
Korban-korban pelecehan tentu saja terguncang dan tercoreng. Beberapa korban dari dosen tersebut mengalami gangguan psikologis dan sampai membutuhkan bantuan psikiater.
Dalam dunia akademis, guru-guru mempunyai posisi berkuasa. Jika tidak digunakan sebagaimana mestinya, yang seharusnya dosen membimbing murid, malah mereka akan semakin terganggu. Kekuasaan di mana pun merupakan hal yang harus digunakan dengan bijak, khususnya di lingkungan pendidikan. Para dosen harus membimbing murid, bukan menyakiti mereka.
Perilaku dosen tersebut yang memanfaatkan mahasiswa bagaikan dokter yang seharusnya menyembuhkan pasiennya, tetapi sebaliknya ia menyakiti pasiennya demi keuntungan pribadi. Sebagaimana dokter harus dituntut karena malpraktik, dosen tersebut juga harus dituntut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H