Lihat ke Halaman Asli

Keluhan dan Pertanyaan?

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Praised be You, myLord through Sister Death,
from whom no-one living can escape. Woe to those who die in mortal sin! Blessed are they She finds doing Your Will.
No second death can do them harm. Praise and bless my
Lord and give Him thanks,
And serve Him with great humility.

Belum lama ini, kita mendengar atau melihat secara langsung bencana alam di Filipina yaitu Topan Haiyan. Topan yang begitu dahsyat memporak porandakan wilayah di beberapa wilayah di Filipina. Kita juga mendengar dan melihat atau mengalami bencana alam lainnya seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan lain sebagainya. Kita merasakan betapa dekatnya bencana-bencana tersebut dengan hidup kita. Lalu tak jarang kita berkata-kata secara spontan di dalam hati: oh Tuhan, Ya Allah…, dan lain sebagainya. Tak jarang kita juga mengeluh kepada Dia sang Empu nya kehidupan ini, Mengapa kita diberikan bencana sebesar ini.

Keluhan-keluhan dan pertanyaan-pertanyaan atas pengalaman hidup menjadi hal yang wajar bagi manusia. Wajar karena manusia memiliki perasaan dan pikiran untuk bersentuhan langsung dengan pengalaman kemudian menilainya. Namun apakah kita hanya berhenti pada pertanyaan dan keluhan tersebut. Tentunya pertanyaan dan keluhan tidak akan menjawab permasalahan yang kita alami.

Manusia tidak memiliki jawaban yang menyeluruh atas pengalaman-pengalaman yang menimpa dirinya. Manusia adalah makhluk terbatas. Manusia memang berada di atas makhluk-makhluk yang lain. Manusia bisa bertanya mengenai ketidaktahuan tentang dirinya dan tentang yang dialaminya.

Bencana alam dan penderitaan yang terjadi perlu dilihat secara lebih jauh dan mendalam. Terdapat dua macam bencana alam, bencana alam terjadi karena proses pembentukan alam dan bencana alam karena kejahatan manusia.

Bumi yang kita diami bukanlah bumi yang sempurna dan statis. Bumi terdiri atas unsure dan elemen yang terus bergerak. Pergerakan ini mengakibatkan goncangan dan gesekan yang berpengaruh pada kehidupan yang lain. Gerakan dinamis bumi ini memunculkan gempa bumi, tsunami, tanah longsor, dan lain sebagainya. Sedangkan Bencana alam yang lainnya adalah karena manusia. Sifat mendasar manusia yang rakus, dan memiliki keinginan atau nafsu yang selalu ingin dipenuhi menjadi penyebabnya. Manusia mengeksploitasi hutan, pertambangan, laut dengan berbagai macam cara untuk tujuan ekonomis dan kepuasan diri sendiri. Akibatnya tidak hanya bencana alam tetapi juga akan membinasakan kehidupan yang lainnya.

Peristiwa-peristiwa bencana alam sebenarnya ingin mengingatkan kita kembali bahwa kita bukanlah bagian yang terpisah dari kehidupan di bumi ini. Kita memiliki kaitan dengan makhluk dan lingkungan di sekitar kita. Apa yang kita lakukan memiliki dampak terhadap yang lain. Dan sikap yang kita lakukan hari ini memnentukan masa depan kehidupan kita dan orang lain.

Lalu, apakah kita layak mengatakan bahwa bencana alam itu adalah pemberian dari Dia Sang Empunya kehidupan. Bukankah Dia begitu mencintai kita? Tentu Dia Sang Pemberi hidup memberi kebebasan kepada kita. Buktinya, kita bisa melakukan apa yang kita inginkan, kita bisa terus hidup meski terkadang sikap kita tidak sesuai dengan apa yang Dia inginkan. Tidak hanya orangbaik yang tetap hidup tetapi orang jahat pun masih tetap hidup. Dia Sang Pencipta menurunkan hujan baik kepada orang yang benar maupun tidak benar. Memberikan sinar mentari bagi orang jahat dan orang baik. Lalu adilkah kalau kita terus mengeluh dan mengadili Dia Sang Empunya kehidupan dengan pertanyaan-pertanyaan kita.

Manusia memang tidak bisa mengatasi bencana alam. Sebagaimana manusia yang menjadi bagian integral dalam bumi ini, demikian juga bencana alam. Kita berjalan bersama dan berdampingan dengan bencana alam. Pertanyaan dan keluhan tidak dapat menjawab pengalaman kita, kita dituntut menghadapi bukan menghindarinya. Dalam hal ini, secara lebih konkret, bisa dilihat Seberapa jauh atau mendalamnya kita menghadapi permasalahan-permasalahan dalam hidup kita (saat bertemu dengan musuh, teman yang menjengkelkan di kantor, sekolah, sesuatu yang kita benci, dan lain sebagainya). Dan apakah kita mampu menyebut mereka dengan kata “Saudara/ i”. Ya …sebuah kata yang indah, tidak hanya kedekatan relasional, tetapi mendalam. Memahami kekurangan dan kelebihan, dan menjadi teman seperjalanan. Saudari kematian, saudari bulan, saudara matahari, saudara kayu, saudara burung, dan saudara-saudari yang lainnya. Memandang yang indah dan yang buruk sebagai saudara dan saudari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline