\"Bahwa cinta tak pernah memilih kapan pergi, sebab cinta serahasia malam pekat"
Malam ini, di atas bubungan rumahku. Aku dan ibu sedang membicarakan perjodohan yang telah lama direncana. Umurku sudah menapaki dua puluh empat tahun, bagi sebahagian orang di kampungku, sudah layak memikirkan masa depan berkeluarga. Ibarat yang sering kudengar dari ibu, bulu ayam jantanku sudah lebat, suara kokoknya telah nyaring, sudah saatnya mencari kandang sendiri. Sepertinya ibuku telah mendambakan anak lelakinya meminang gadis.
Meski hati kecilku belum menerima, sebab tujuh tahun lamanya kuliah di kota, namun belum selesai juga. Kadang amanah menjadi sarjanalah harusnya kutuntaskan, sebab janji sewaktu pertama kuliah adalah membahagiakannya sebelum membahagiakan anak orang lain.
Ibuku percaya, tak ada paling bahagia selain melihat anak laki-lakinya menikah. Apalagi pesta tiga hari, tiga malam yang biasanya di adakan di kampung halaman selalu mengundang keluarga besar untuk bertemu. Jalinan silaturahmi dengan keluarga yang telah lama merantau kian menjadi cerita paling indah, paling ditunggu untuk berfoto bersama keluarga besar. Selepas ibu menyuguhkan kopi padaku ia mulai duduk di hadapanku.
" Engkau harus menyelesaikan kuliahmu, lalu menikahlah bersama Tini, keluarga dari bapakmu"
" Aku memiliki perempuan idaman Bu, dia dari Bugis"
"Tapi ibu telah memilih Tini, buatmu"
"Biarlah Tini mencari lelaki mapan saja, bukan aku. Bukan lelaki yang memilih hidup miskin sepertiku."
"Bukankah tujuan kuliahmu untuk membahgiakan orang tuamu?"
"Iya Bu, membahagiakan karna ku angkat derajatmu"
" Mengangkat derajat. Lalu kenapa mau hidup miskin?"