Lihat ke Halaman Asli

Damar Juniarto

TERVERIFIKASI

Akademisi, aktivis, pembicara bidang Demokrasi Digital, Kebijakan Digital, dan Kecerdasan Artifisial.

Stop Bakar Buku

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13396791871805338640

Librisida kembali terjadi di Indonesia. Lembar-lembar buku kontroversi itu terbakar dalam api yang kian lama kian besar. Menyala merah dan menyisakan abu dan debu. Inikah wujud baru pelarangan buku yang perlu diwaspadai?

[caption id="attachment_187960" align="aligncenter" width="620" caption="Pembakaran buku 13 Juni 2012 (dok. Tempo)"][/caption]

LIBRISIDA memiliki sejarah demikian panjang. Ada begitu banyak sebab dan latar belakang mengapa buku dilarang dan dihancurkan. Majalah Times mengungkapkan bahwa di dunia barat ‘tradisi’ melarang suatu penerbitan setidaknya bisa dirujuk kembali pada tahun 1557 yakni ketika Paus Paul IV menetapkan “daftar buku-buku terlarang" (The Index of Prohibited Books). Sebuah ketetapan berisi daftar buku-buku apa yang haram dibaca dan dikeluarkan untuk melindungi orang Katolik dari ide-ide kontroversial.

Librisida dalam bentuk "pelarangan" termasuk bentuk kekerasan yang lembek dan baru. Sejarah mencatat, ketakutan dan kebencian terhadap buku seringkali lebih banyak mengambil bentuk-bentuk penghancuran yang ekstrem seperti pembakaran buku!

Kebencian terhadap buku, yang dilakukan dengan aksi librisida, baik dalam bentuk pelarangan, sensor, penghancuran perpustakaan, serta pembakaran buku-buku itu di hadapan umum adalah gejala suatu zaman. Ia menandai proses sosial-politik yang kompleks: kemandegan, konflik, pergeseran dalam pandangan dunia suatu masyarakat.

Pembakaran buku juga sering menandai akan munculnya sebuah rezim baru. Aksi fasistik tidak hanya membakar buku-buku, tetapi juga melakukan propaganda zaman baru untuk menumbangkan wacana/sistem kepercayaan yang lama. Kita tentu ingat bagaimana Nazi melakukan kegiatan pembakaran buku secara masif dan kemudian digantikan dengan buku-buku yang ditulis sendiri oleh Adolf Hitler.

Pembakaran buku bukan tidak mungkin didukung oleh negara/pemerintah. Biasanya librisida ini dilakukan untuk menghancurkan buku-buku berdasarkan argumen atau penilaian moral dari suatu otoritas moral tertentu, semisal bertentangan dengan agama atau ideologi yang disokong negara/pemerintah.

Pada zaman sekarang ini, buku dianggap mewakili gagasan humanisme, sehingga librisida dalam bentuk pelarangan dan penghancuran buku mencerminkan kerja dan pertarungan intelektual dalam masyarakat. Dengan melakukan librisida, ada gagasan yang dihambat untuk tumbuh. Ini sebetulnya yang sedang terjadi belakang hari ini di Indonesia.

Pada hari Rabu, 13 Juni 2012, Gramedia dianjurkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membakar buku “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia” karya Douglas Wilson di halaman belakang Bentara Budaya, kompleks Gramedia, Jakarta. Sebelum dan sesudahnya, pembakaran buku yang sama juga dilakukan di Cakung (Jawa Barat), Surabaya, Semarang, Makassar, dan Pekanbaru.

Buku tersebut dibakar menyusul peristiwa-peristiwa berikut:

- Munculnya surat pembaca berjudul "Buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia Menyesatkan", yang ditulis Syahruddin di harian Republika pada Jumat, 8 Juni 2012. Syahruddin, tertulis warga Depok, keberatan atas isi buku pada halaman 24, “Selanjutnya ia (Muhammad) memperistri beberapa wanita lain. Ia menjadi seorang perampok dan perompak, memerintahkan penyerangan terhadap karavan-karavan Mekah," dan "Muhammad memerintahkan serangkaian pembunuhan demi meraih kendali atas Madinah, dan di tahun 630 M ia menaklukkan Mekah."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline