Lihat ke Halaman Asli

Damar Juniarto

TERVERIFIKASI

Akademisi, aktivis, pembicara bidang Demokrasi Digital, Kebijakan Digital, dan Kecerdasan Artifisial.

Facade

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada malam itu, kematian datang menemuiku.

"Akulah kematian," sapamu.
Aku mengangguk, kubilang kukenal ia.

Ia tampak heran.
"Darimana kau kenal aku?"

Maka kukatakan, ia kukenal saat kujabat tangan papaku sebelas tahun lalu.
Saat itu tak ada bedanya jabatan papa. Sama eratnya. Sama kuatnya. Hanya bedanya, papa tak lagi berkata-kata, ia tak lagi bernyawa.

Ia menggangguk.
"Itu memang aku."

Lalu kukatakan lagi, masihkah ia ingat saat hadir dua tahun lalu. Saat itu tak ada jabat tangan. Aku tersudut di ruangan. Membacakan dengan lantang, rima-rima sajak Daud. Menekur sendirian huruf demi huruf, mencoba menahan isak tangis dan serak suara. Menatap sesekali ke tubuh kakakku yang lemah dan lelah.

Lalu kematian datang seolah menepati undangan. Tepat ketika huruf terakhir kulafalkan, ia menepuk bahu kakakku, mengajaknya pergi. Ke keabadian, ia berucap seraya pergi bersamanya. Begitu saja. Tak menanti jawabanku.

Ia mengangguk lagi.
"Itu memang aku."

Aku beranikan diri menatapnya.
Karena ibuku kah ia datang, tanyaku.

Kematian mengangguk.
"Tapi bukan sekarang, kelak. Tunggulah, jangan kemana-mana."

Aku gantian mengangguk.
Tak beranjak.
Karena kehabisan kata-kata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline