Ibu ceritakan padaku tentang papa, rajukku.
Ibu menoleh dan menatapku erat.
"Dia telah pergi nak, sepuluh tahun lalu."
Iya aku tahu, jawabku. Kalau begitu ceritakan padaku papa waktu ibu dulu kali pertama mengenalnya, rajukku sekali lagi.
Ibu menghela nafas. Ia pun bercerita.
"Papa adalah tukang batu. Tiap hari kerjanya memecah batu. Kecil, sedang, besar mampu ia pecahkan. Kadang dibantu temannya, tapi lebih sering ia bekerja sendiri. Ibu melihatnya waktu ia hendak memecahkan batu sebesar rumah."
Mana ada sih batu serumah, sanggahku. Tapi ibu terus bercerita.
"Ibu juga tak percaya. Jadi kusapa dia dan memintanya berhenti. Tapi sungguh, papamu keras kepala. Kepalanya mungkin seperti batu itu. Ia bilang jangan pikirkan batunya. Tapi pikirkan rumah yang bisa dibangun dari batu itu. Akhirnya batu sebesar rumah itu ia pecahkan, awalnya dari membelahnya besar-besar, kemudian, memecahkannya keping demi keping. Kemudian keping demi keping itu ia susun dan jadilah pondasi."
Wah, pondasi rumah inikah, tanyaku.
Ibu hanya tersenyum mengiyakan.
Kukagumi rumah cita-cita yang kudiami ini.
Ibu berkata lagi.
"Papamu, nak, adalah tukang batu. Dan kita juga adalah keping-keping batunya."
[dam]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H