Lihat ke Halaman Asli

Damar Juniarto

TERVERIFIKASI

Akademisi, aktivis, pembicara bidang Demokrasi Digital, Kebijakan Digital, dan Kecerdasan Artifisial.

Ditulis Asal-asalan dan Meracau Bisakah Disebut Puisi?

Diperbarui: 18 Mei 2019   14:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi puisi (Sumber: Pixabay.com/andreas160578)

Puisi adalah sebuah ikhtiar paling jujur yang dimiliki seorang manusia untuk menggenapkan perasaannya. Lalu apakah yang ditulis, yang dibahasakan dengan lisal - akronim dari "tuLISan asAL-asalan" seperti dalam karya Sulis Gingsul atau racauan seperti dalam karya Gieb mengurangi ikhtiar itu? Tentu saja tidak.

PERTANYAAN yang selalu saya ajukan setiap kali berhadapan dengan penulis puisi adalah kejujuran dalam berproses dan kebahasaan. Dua hal ini yang menjadi indikator penting bagi saya untuk menilai ikhtiar karyanya. 

Untuk dapat menemukan alasan yang pertama dan terutama mengapa seseorang menulis puisi bukanlah perkara mudah. Karena sering kali justru penulis itu sendiri tidak menemukan alasan utamanya. 

Banyak yang menulis tanpa sadar. Yang juga menarik adalah saat sebab yang utama itu kemudian bertemu dengan routine-routine yang sudah berkali-kali ia latih dan dianggap sebagai bentuk yang paling cocok mereprentasikan dirinya dalam bentuk tulisan -- menurut saya ini adalah hal tersulit kedua yang muncul belakangan. 

Sulis gingsung AS (SUMBER: gembiraloka.wordpress.com)

Maka ketika saya berhadapan dengan lisal-lisal dari Sulis Gingsul, saya mencoba memahaminya baik-baik. Lisal adalah gaya tulisan Sulis yang kerap ia nyatakan sebagai bentuk yang berbeda dari puisi atau sajak. Lisal sendiri adalah akronim dari tuLISan asAL-asalan.
aku mencintai hal-hal sederhana: bunga, kicauan burung, senyummu, dan mimpi-mimpi kita tak ada yang istimewa di dunia ini bunga bermekaran kemudian layu telur menetas kemudian burung berkicau kau tak akan pernah kehabisan senyum  dan mimpi-mimpi selalu tersedia aku mencintai hal-hal sederhana itu untukmu, semoga cukuplah kutuliskan semuanya di dalam puisi yang sederhana.

Demikian salah satu lisal Sulis berjudul "Puisi Sederhana". Apa yang tersaji menurut saya jauh dari kesan asal-asalan. Saya mencium aroma Sapardi Djoko Damono dari baris pertama: Aku mencintai hal-hal sederhana: tetapi juga kesahajaan Linus Suryadi dalam menghadirkan yang prosa dalam bentuk puisi. 

Sulis menulis dengan sebuah kesadaran sebetulnya pada setiap kata yang ditulisnya. Ia tidak sedang bermain-main (baca: asal-asalan) dengan kata, seperti Sutardji Calzoum Bachri menjungkirbalikkan pemaknaan kata. Sulis justru menghadirkan tulisan yang mampat: efektif menyampaikan perasaannya paling jujur. Dalam puisi "Perjalanan", lisal Sulis kembali lagi mengundang rasa penasaran saya. Dua bait puisinya, berbunyi demikian:

aku telah membongkar isi rumah. lihatlah baju, radio, kulkas, buku-buku, dan ranjang barang-barang yang dulu sangat kuinginkan dengan bersusah-susah aku telah mengumpulkan semua yang dulu baru kini telah menjadi usang beberapa barang tidak lagi kuperlukan, mesti dibuang janganlah memberatkan langkah, sebab aku harus pergi

Seolah kita sedang membayangkan seseorang yang sedang berkemas sebelum pergi berjalan. Ia memilih tidak membawa yang memberatkan perjalanannya. Baris selanjutnya berbunyi:

cuma ada beberapa yang perlu kubawa–cuma sedikit kenangan-kenangan, rindu-rindu, dan mimpi-mimpi –bekal pergi ke tempat yang belum pernah kuimpikan

Sekali lagi saya tidak menemukan yang asal-asalan itu. Lalu lisal Sulis berlanjut demikian:

di tempat baru, akan kutemukan orang-orang baru, barang-barang baru, detik-detik yang akan segera berlalu dan sebuah peringatan bahwa tak ‘kan ada yang bertahan tak ‘kan ada yang awetnya melebihi kenangan. di sana, aku sekolah mata pelajarannya cuma dua mata pelajaran tersenyum mata pelajaran rela   ujiannya pun cuma dua: ujian diberi yang tak kupinta ujian kehilangan yang kucinta. “kau perlu banyak belajar agar bisa tamat sampai kepadaKu” kataMu kubayangkankan Engkau terpingkal-pingkal.

Di akhir puisi ini, saya tersenyum geli. Itu sebabnya saya mencium aroma Joko Pinurbo meskipun saya tidak yakin berasal dari puisinya yang mana. Mungkin karena ada adegan tuhan dalam bait terakhir itu. 

Saya menyusun praduga mengenai lisal-lisal Sulis Gingsul ini yang di akhir tulisan akan saya padukan dengan apa yang saya temukan dalam racauan Gieb. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline