Lihat ke Halaman Asli

Ummi-ku Jangan Disuruh Lembur Ya!

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13290623351314566582

[caption id="attachment_170492" align="aligncenter" width="593" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

“Pak Boss, Ummi-ku hari ini jangan disuruh lembur ya…aku ada PR susaaaahhh banget”

Sms ini diterima teman saya yang kebetulan menjadi manager produksi, dari anak salah seorang anak buahnya, seorang operator di pabrik manufacturing.

Tentu saja sms itu tidak sepengetahuan ibunya, entah darimana si anak menemukan nomor HP boss ibunya itu, tapi bisa jadi dia melihat dari HP sang ibu tanpa sepengetahuannya.

Tentu tidak bisa disalahkan, karena selaku seorang operator pabrik, hampir setiap hari dia kerja lembur. Kalau dia shift pagi, bisa jadi baru jam sembilan malam tiba di rumah [ padahal jam 5;30 pagi sudah berangkat meninggalkan rumah ], Kalau kebetulan shift malam, jam 6 malam dia sudah berangkat, dan 7 pagi baru sampai di rumah dengan penuh kelelahan.

Kapan dia bisa bertemu anak-anaknya ? kadang hari sabtu dan hari libur-pun dia harus masuk kerja lembur.

Kondisi ini sudah menjadi hal umum di pabrik-pabrik di sekitar Bekasi.Dimana umumnya karyawan wanita lebih mendominasi.

Kerja lembur itu seolah menjadijam kerja sehari hari, walaupun UU tenaga kerja sudah menentukan berapa banyak jam lembur dalam sehari, dan berapa maksimal dalam sebulan. Tapi siapa peduli, toh para buruh itu malah mengeluh kalau jam lembur mereka dikurangi, dan bagi perusahaan itu lebih flexible daripada menambah tenaga kerja.

Siapa yang mengasuh anak2 para buruh wanita itu ? kalau tidak pembantu, kadang anak-anak itu diasuh oleh nenek-kakeknya, tapi tidak sedikit pula yang diasuh ayahnya yang pengangguran.

Bagaimana kualitas pendidikan yang diberikan oleh seorang pembantu, bagaimana seorang kakek-nenek yang sudah tua bisa tegas kepada cucunya, padahal guru terbaik bagi seorang anak adalah orang tuanya terutama ibunya.

Ibu lah yang mengajarkan sopan santun, pendidikan moral, mendidik agama…kepada anaknya. Dengan ibu lah anak bisa curhat akan masalah masalah yang mereka hadapi, dengan ibu anak bisa berbagi, walaupun perkecualian tetap saja ada.

Tentu saya tidak bisa menyalahkan para ibu yang terpaksa meninggalkan anak-anaknya, karena kadang kondisi lah yang memaksa mereka untuk melakukan itu.

Dan juga tidaklah fair bila saya menyalahkan perusahaan sepenuhnya, karena sebenarnya mereka lebih suka memakai buruh wanita lajang yang lebih muda, lebih semangat, dan belum banyak tuntutan, dibandingkan para buruh wanita berkeluarga.

Jadi saya ingin mengetuk hati para bapak, untuk mengambil alih peran sebagai sumber pencari nafkah. Sedikit atau banyak itu relative, kalau untuk menuruti uang, itu tidak pernah ada kata cukup.

Bila bapak mencari uang, dan ibu mendidik anak-anak. Tentu kita berharap, anak anak kita kelak menjadi generasi yang lebih baik daripada kita orang tuanya.

Dan di masa tua nanti, anak anak akan mengunjungi kita, dengan kebahagiaan dan rasa terima kasih yang mendalam telah dibesarkan penuh perhatian dan cinta dari kedua orang tuanya terutama ibunya.

Bagaimana menurut anda ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline