Malam keempat Ramadhan 1444 H, Sabtu (25/3/2023), saya Tarwih di Masjid Baitul Hajar, Balah Hilie Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman.
Ini jadwal pertama dari dua jadwal yang dialokasikan pengurus masjid. Dan juga seperti tahun yang sudah-sudah, tahun ini saya diberi jadwal dua kali.
Menelisik dalam benak saya, sepertinya masjid itu tak mempersoalkan berbagai tradisi dan tata tertib Shalat Tarwih Ramadhan tersebut.
Kenapa demikian, ya sebuah kejanggalan saja, bagi orang yang tahu tentunya. Shalat Jumat dengan khutbah bahasa Arab, Tarwih Ramadhan delapan rakaat dua salam, yang lazim dilakukan di masjid-masjid kantongnya Muhammadiyah.
Sepertinya, tak ada yang mempersoalkan pelaksanaan shalat Tarwih seperti itu di Masjid Baitul Hajar. Buktinya, sudah sekian tahun saya menikmati jadwal yang diberikan pengurus masjid itu. Shalat tetap seperti itu.
Tidak seperti Masjid Berkah yang Tarwih-nya delapan rakaat, tetapi dua-dua, dan Witir dua dan satu. Melihat sekilas, Masjid Baitul Hajar basisnya Syathariyah, lantaran khutbahnya bahasa Arab, seperti masjid kampung yang tidak kampungan.
Imam Tarwih-nya tetap, seorang hafidz Quran tentunya. Bacaannya fasih, makhrajul hurufnya jelas, sehingga menyenangkan makmum yang mengikuti dari belakang.
Masjid Baitul Hajar sudah gagah. Karpetnya menyejukkan dahi ketika sujud. Pendidikan MDTA berlangsung dengan dinamikanya.
Ada giliran untuk anak-anak MDTA tiap malam, sebelum Tarwih. Ya, sebagai pembawa acara dan kultum seorang santri atau santriwati.
Jadi, pengurus masjid cukup mengurusi hal-hal besar, seperti mengurus kemasukan paket pebukaan tiap senja, serta paket untuk sahur tentunya.