Lihat ke Halaman Asli

Damanhuri Ahmad

Bekerja dan beramal

Artikel RTC: Cerita Keikhlasan Pimpinan dan Guru Madrasatul 'Ulum yang Menginspirasi

Diperbarui: 9 November 2021   11:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Majelis guru Ponpes Madrasatul 'Ulum melakukan rapat bersama, merumuskan dinamika jalannya proses belajar mengajar. (foto dok damanhuri)

Keikhlasan guru Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan dalam mengajar patut diacungi jempol, dan apresiasi yang amat luar biasa. Kenapa? Rasanya tak ada lagi sekarang ini lembaga pendidikan negeri dan swasta yang memperlakukan tenaga pendidiknya dengan konsep lillahita'ala. Mungkin Madrasatul 'Ulum satu-satunya.

Buya Marulis Tuanku Mudo, pimpinan pesantren itu untung telah terbiasa dengan kerja ikhlas, dan kerja sosial di tengah masyarakat. Dia ditetapkan sebagai pimpinan tahun 2020 lalu, menggantikan posisi mendiang Buya Marzuki Tuanku Nan Basa. Ketika dia ditetapkan sebagai pimpinan berdasarkan hasil musyawarah bersama antara santri, alumni dan tokoh masyarakat Lubuk Pandan, Marulis tak menanyakan berapa gaji atau honor yang akan dia terima dari pesantren itu.

Marulis yang juga alumni Madrasatul 'Ulum tahun 1980 an ini sebelum ditetapkan jadi pimpinan di almamaternya itu, pernah mengajar di Koto Buruak Lubuk Alung dan Surau Patamuan di Kecamatan Nan Sabaris. Baginya, sejak menamatkan studinya di Lubuk Pandan, langsung mencemplungkan dirinya ke dunia belajar mengajar, mengembangan pondok pesantren ala surau.

Mungkin karena dasar pengajiannya yang kuat, ilmunya yang matang lantaran terus mengajar setelah selesai belajar, keikhlasannya pun bertambah kuat dan kokoh. Memberikan pengajian atau menegakkan amar makruf nahi mungkar bagi orang yang sudah mengetahui itu, adalah wajib hukumnya. Bisa jadi landasan ini yang membuat dia sama sekali tak berharap banyak dalam mendidik, selain ridha Allah SWT, dan kemajuan serta banyak santri yang belajar di pesantren yang dia pimpin.

Pagi-pagi sehabis Subuh, Marulis telah duduk di tempat dia biasa duduk mengajar. Satu persatu santri yang dia ajar mendatanginya, duduk sambil bersila mengelilingi dia. Memang tak banyak. Ada enam sampai delapan santri yang mengaji tiap pagi di kelas yang dia ajar. Waktunya enam hari dalam sepekan, sejak Jumat hingga Rabu. Sedangkan Kamis hari libur bagi santri Madrasatul 'Ulum.

Malamnya, Marulis juga berkeliling pondok, memperhatikan seluruh santrinya. Tak ada yang menyuruh dia berbuat seperti demikian, selain dari warisan tradisi yang berlaku di pesantren yang didirikan pada 1940 M itu. Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah yang mendirikan lembaga itu dulunya, memberlakukan seperti demikian. Tiap malam Buya itu melakukan sidak, mengunjungi asrama santri di sekeliling pesantren.

Mana santri yang malamnya dihabiskan dengan berleha-leha, akan diketahui langsung oleh sang pimpinan. Tentu bersua pula santri yang rajin membaca dan menghafal kajinya di tengah malam yang sunyi dan sepi itu. Tak tanggung-tanggung, suara santri yang menghafal kajian tengah malam itu kadang-kadang bisa mengalahkan suara jangkrik dan desauan air Sungai Batang Ulakan yang mengalir di depan pesantren.

Marulis merasa senang dan gembira melihat santrinya yang rajin mengulang kaji tengah malam, ketimbang santri yang hanya menghabiskan waktunya dengan kegiatan yang tidak ada faedahnya. Ketika bersua santri yang hanya main-main, suara Marulis lantang memberangi anak-anak itu. Tak ayal, semua yang sedang main-main itu pada berhamburan ke asrama masing-masing, mengambil kitab dan buku, lalu membaca.

Keikhlasan itu agaknya ingin ditularkan oleh Marulis kepada segenap majelis guru yang mengajar di pesantren itu. Hanya warisan ikhlas dan tradisi shalat berjemaah tiap waktu itulah warisan terbesar Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, sang pendiri pesantren itu. "Baru belakangan ini ada sedikit dijelaskan, bahwa guru-guru ada honor tiap bulan. Termasuk saya yang memimpin," cerita Marulis.

Sebelumnya, dan sejak pertama kali pesantren ini ada, tak pernah ada honor guru-guru, termasuk Buya yang mengajar dan berkecimpung tiap hari dengan santri. Hanya saja jumlah honor yang perlu dipikirkan oleh Yayasan Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah yang menaungi pesantren ini ke depannya. Sekarang sekelas pimpinan, baru dikasih honor Rp1 juta sebulan. Sedangkan untuk guru-guru berpariasi. Ada yang menerima Rp500 ribu dan ada yang Rp750 ribu sebulan.

"kalau dipandang dunianya, honor sekian itu sangat tidak memadai. Tidak ada bandingannya dengan pesantren lain di Sumbar bahkan di seluruh nusantara ini, honor pimpinannya sejuta sebulan. Diyakini saja tidak ada, selain kita di Madrasatul 'Ulum ini," ulas dia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline