Lihat ke Halaman Asli

Tradisi Kenduri Sko di Desa Jujun : Cerminan Sila ke 3 dalam Tradisi Lokal

Diperbarui: 20 Desember 2024   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penampilan tari tradisional dalam acara Kenduri Sko, menggambarkan keindahan budaya lokal Desa Jujun. 

Kenduri Sko merupakan salah satu tradisi adat yang masih dilestarikan di Desa Jujun, Kerinci. Acara ini tidak hanya menjadi simbol penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga sebagai wujud nyata penerapan nilai-nilai Sila Ketiga Pancasila, yakni Persatuan Indonesia. Tradisi ini diadakan setiap tahun secara bergilir oleh lima desa yang ada di Jujun, yaiut desa dusun baru jujun ,pasar jujun,koto baru,koto agung dan talang lindung yang diamana menunjukkan semangat gotong royong dan kebersamaan di tengah keberagaman budaya setempat.

Keunikan Kenduri Sko terlihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan seminggu sebelum acara puncak. Masyarakat desa sibuk mempersiapkan berbagai agenda seperti pertunjukan drama adat yang melibatkan depati-depati dari masing-masing kelompok, lomba olahraga antar-depati seperti sepak bola dan bola voli, serta tampilan tarian tradisional. Salah satu ciri khas yang menandai dimulainya Kenduri Sko adalah tradisi karanmentang, sebuah prosesi yang menjadi simbol bahwa desa tersebut siap melaksanakan acara besar ini. Puncak acara biasanya diadakan pada hari Minggu, sementara pada hari Sabtu masyarakat secara serentak memasak lemang sebagai sajian khas untuk menyambut tamu yang datang ke rumah-rumah mereka. Dalam kegiatan ini, masyarakat dari lima desa di Jujun, meskipun berasal dari desa yang berbeda-beda namun memiliki depati yang sama, tetap bersatu dan saling bekerja sama. Hal ini memperlihatkan harmoni dan semangat kebersamaan yang mencerminkan esensi Sila Ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia.

Meskipun memiliki makna yang begitu mendalam, tradisi Kenduri Sko juga menghadapi berbagai tantangan dalam pelaksanaannya. Modernisasi dan globalisasi mulai menggerus minat generasi muda terhadap adat dan budaya lokal. Sebagian besar anak muda lebih memilih menghabiskan waktu dengan aktivitas modern yang cenderung individualistis. Selain itu, perbedaan depati, meskipun menjadi kekayaan budaya, kadang menimbulkan potensi konflik kecil jika tidak dikelola dengan baik. Tantangan lainnya adalah keberlanjutan tradisi ini, mengingat regenerasi pelaku tradisi seperti para sesepuh desa menjadi hal yang mendesak untuk diperhatikan.

Untuk menjaga Kenduri Sko tetap relevan dan menjadi simbol persatuan, berbagai langkah strategis perlu diambil. Generasi muda harus diberikan ruang untuk terlibat aktif, misalnya dengan mengorganisasi kegiatan seni dan olahraga. Selain itu, teknologi seperti media sosial bisa dimanfaatkan untuk mempromosikan Kenduri Sko agar dikenal lebih luas, sehingga menumbuhkan kebanggaan masyarakat terhadap budaya lokal. Nilai-nilai yang terkandung dalam Kenduri Sko juga dapat diajarkan dalam mata pelajaran muatan lokal di sekolah, agar generasi muda lebih memahami pentingnya tradisi ini. Yang terpenting, kesadaran kolektif masyarakat perlu dibangun, bahwa Kenduri Sko adalah milik bersama yang harus dijaga demi keberlangsungan persatuan di tengah keberagaman.

Kenduri Sko bukan hanya sekadar ritual adat, tetapi juga menjadi perwujudan nyata dari nilai-nilai luhur Pancasila. Tradisi ini mengajarkan bahwa persatuan adalah kunci kekuatan bangsa, yang harus tetap dijaga meskipun dihadapkan pada perubahan zaman. Dengan melestarikan tradisi seperti Kenduri Sko, masyarakat tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga memperkuat identitas bangsa yang berakar kuat pada nilai-nilai Pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline