Baru saja saya menulis status di facebook: "Itulah Politik:, sangat mudah berubah "Sekarang dikatakan bahwa Jokowi sebagai Capres PDIP tak bawa suara PDIP menjadi tinggi, hanya 19% berdasarkan hitung cepat", harusnya berfikirnya lbh konstruktif: "Jokowi sebagai Capres PDIP mempertahankan suara PDIP di level 19%". Xo xo xo xo xo...
Situasi seperti ini sudah menjadi penyakit para politikus, dengan perolehan suara di Pemilu legislatif tahun 2014 ini yang tidak sampai 20%, dapat di ramalkan gonjang-ganjing akan terjadi. Apakah kita percaya bahwa koalisi partai dalam menghadapi Pilpres mendatang dilakukan berdasarkan kesamaan platform? Oh...tentu saja tidak, koalisi akan dibentuk atas dasar hubungan psikologis antar pemimpin partai yang semua mengarah bagaimana memperoleh RI 1 dan RI 2. Apa mungkin partai Hanura akan berkoalisi dengan Gerindra? Pasti sulit mengingat hubungan Prabowo dan Wiranto penuh luka selama transisi ke reformasi. Atau koalisi PDIP dengan Demokrat, sama juga, kita bisa lihat bagaimana menderita bathin bu Mega mengambil posisi oposisi selama 10 tahun SBY berkuasa. Hal yang paling mungkin terjadi adalah koalisi Partai Demokrat dengan PAN, hubungan besan sekaligus meningkatkan prosentase perolehan suara sehingga bisa menyodorkan Hatta Rajasa sebagai Capres dan salah satu peserta konvensi Partai Demokrat sebagai Cawapres.
Bagaimana dengan Golkar, sekali lagi, sebagian besar elit partai Golkar paling matang dalam mencari jodoh koalisi, bisa saja bertambat pada PKB plus PPP, bahkan dengan Partai Demokrat, intinya bagaimana mencukupi persyaratan 20% dan 25% di tingkat nasional untuk mengusung Capres dan Cawapres.
Kali ini tokoh yang paling aman adalah Muhaimin Iskandar dengan sangat jeli dalam meng hire tokoh guna mendongkrak suara dengan biaya sangat murah seperti melibatkan Rhoma Irama dan Ahmad Dhani sebagai jurkam, jatah menteri sudah pasti ada ditangan Cak Imin. Sekali lagi saya yakin yang mendongkrak suara PKB bukanlah Nahdiyin, melainkan fans bang Oma dan Ahmad Dhani.
Kembali soal PDIP saat ini, tentu saja ada yang menghembuskan baik dari internal PDIP maupun diluar partai tersebut, bahwa suara PDIP tidak terdongkrak dengan mencapreskan Jokowi, dalam hal ini kita perlu acungi jempol sekali lagi buat Golkar yang akan memetik efek positif dari gonjang-ganjingnya PDIP. Dengan kedewasaan berpolitik para elit partai Golkar (makmurnya sudah lama dan jadi biasa),plus issue Jokowi tidak mendongkrak suara PDIP akan menguntungkan Golkar, bisa saja mereka mengatakan: "Ayo Jokowi, kamu ikut kita saja mendampingi ARB sebagai Cawapress".
Lembaga survei menghasilkan PDIP di posisi teratas versi quick count sebesar 19,5 %. Hal ini tentu saja jauh dari target yang di patok Rakernas PDIP yaitu sebesar 27 persen. Hal ini pula membuat kegaduhan baru di PDIP dimana Jokowi effect dianggap tidak memberi kontribusi dalam menaikkan suara PDIP sehingga mencapai patokan yang di canangkan Rakernas yang juga di sinyalir masih banyak masyarakat dianggap kurang mendukung Jokowi sebagai capres.
Jadi situasi internal PDIP akan menjadi pusaran utma bagi partai lain guna merubah secara cepat peta politik dalam rangka strategi mendapatkan kursi RI1 dan RI2, bisa saja pada detik terakhir pendaftaran Capres dan Cawapres, Jokowi akhirnya berlabuh di Golkar, hal ini persis bagaimana JK sebagai petinggi Golkar berlabuh ke SBY (Demokrat) pada Pilpres tahun 2004.
From Jogja With Love
Dalin
riverside-jogja.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H