Akhir-akhir ini masalah tentang gender banyak beredar di linimasa kalangan anak-anak muda. Sudah tidak jarang sekali, anak-anak muda yang berbicara tentang kesetaraan gender, apalagi sudah makin marak kaum-kaum yang menamakan dirinya kaum feminis. Kaum feminis ini kaum yang paling ngotot jika berbicara tentang gender di berbagai linimasa ataupun kehidupan nyata.
Berbicara tentang gender, tak luput pula dengan pembahasan tentang sosialisasi gender. Kira-kira apa sosialisasi gender ini? Kira-kira sama tidak antara gender dan seks? Kali ini saya ingin menjelaskan sedikit tentang apa itu sosialisasi, apa itu gender, apa itu sosialisasi gender, dan kasus-kasus yang saya temukan di lingkungan saya sehari-hari.
Berawal dari sosialisasi, sosialisasi ini bagi saya kata yang sering didengar di kehidupan sehari-hari akan tetapi kadang masyarakat umum salah mengartikan sosialisasi ini apa. Mungkin kita sering dengar jika kita mendapat informasi , informasi itu harus disosialisasikan, dalam artian informasi itu harus disampaikan lebih lanjut. Namun, ketika saya mengikuti kelas Pengantar Sosiologi dalam minggu terakhir ini, saya mendapatkan arti baru apa itu Sosialisasi. Menurut Pak Hendro Prasetyo, Sosialiasi ialah perkenalan, perkenalan dalam artian mengenali atau memperkenalkan sesuatu yang sebelumnya kita belum tau lalu dengan adanya sosialiasi ini kita menjadi tau.
Untuk gender, dalam modul yang ditulis oleh Dra. Vina Salviana D. Soedarwo, M.Si. , gender ini memiliki arti yang berbeda dengan seks. Seks lebih condong ke jenis kelamin, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Namun, jika gender lebih condong antara feminin atau maskulin. Berbicara tentang feminin dan maskulin, sudah tidak dipungkiri banyak laki-laki yang merasa bahwa seorang laki-laki tidak harus dituntut sebagai manusia yang selalu maskulin. Laki-laki ingin dipandang seseorang dari dua sisi, sisi maskulin dan sisi feminin. Laki-laki sering dibebankan dengan sifat maskulin yang mewajibkan dirinya sebagai manusia yang kuat, manusia yang harus tahan banting, manusia yang tidak boleh menangis hanya karena dirinya menjadi seorang laki-laki.
Lalu, dari sudut pandang seorang perempuan tak sedikit perempuan yang ingin dipandang sebagai makhluk Tuhan yang lemah. Tak sedikit kaum perempuan menganggap dirinya sama kuatnya seperti laki-laki. Perempuan mampu bekerja, perempuan mampu mencari nafkah, perempuan mampu menghidupi dirinya dan keluarganya dengan kaki dan tangannya sendiri. Perempuan tidak ingin dipandang sebagai makhluk Tuhan yang gampang nangis, dia tidak ingin dipandang sebagai makhluk Tuhan yang selalu membutuhkan seorang laki-laki untuk memopang nya.
Maka dari itu, alangkah baiknya penting sekali jika kasus sosialisasi gender ini lebih di concern di kalangan masyarakat Indonesia. Karena masyarakat Indonesia yang masih kental adat istiadat nya ini jadi masih memegang sekali budaya yang dibawanya sejak lahir. Kita sebagai generasi penerus bangsa tidak boleh capek untuk terus menggaungkan masalah sosialisasi gender ini.
Dilihat dari pengertian di atas, maka saya menyimpulkan bahwa sosialisasi gender ini merupakan perkenalan atau mengenali gender dengan lebih luas, tidak memandang gender hanya dari satu sisi akan tetapi harus memandang gender dari berbagai sudut pandang.
Sosialisasi gender ini penting sekali di Indonesia yang budaya patriarki nya masih sangat kental. Budaya patriarki ialah budaya atau kebiasaan yang mendahulukan laki-laki dibanding perempuan. Budaya ini menganggap kalau derajat laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan, Budaya ini juga yang menekankan bahwa kegiatan perempuan hanyalah di rumah saja, mengerjakan pekerjaan rumah, dan menghabiskan hari-harinya di rumah. Budaya ini menekankan bahwa laki-laki lah yang harus kerja, laki-laki harus mencari nafkah keluar rumah biar urusan dapur, urusan rumah perempuan semua yang ngatur.
Dewasa ini sudah banyak kasus pembangkangan tentang istilah-istilah feminin dan maskulin. Sudah banyak laki-laki yang menjaga diri dan kulitnya dengan menggunakan skincare, sudah banyak laki-laki yang tidak segan untuk menangis hanya karena ditinggalkan oleh sang kekasih. Lalu dari segi perempuan, sudah banyak perempuan yang menginginkan pekerjaan yang setara dengan laki-laki. Banyak perempuan yang sudah menjabat sebagai pos-pos penting di lingkungan kerjanya. Contoh jelasnya ialah Tri Rismaharini yang menjabat sebagai Walikota Surabaya masa jabatan 2010-2015 dan 2015-2020.
Lebih lanjut dari sisi pekerjaan, banyak laki-laki yang sudah mengerjakan pekerjaan rumah dengan sendirinya, banyak laki-laki yang jago memasak, laki-laki yang trampil menyetrika, hingga laki-laki yang mampu mencuci bajunya sendiri tidak mengandalkan tenaga dari seorang perempuan lagi. Akan tetapi, bagi orang-orang tua yang hidupnya lebih dahulu dari kita, masih mewajarkan jika perempuan itu harus di rumah saja dan tidak boleh berpendidikan yang tinggi karena ujung-ujungnya hanya bekerja di rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H