Kata 'miring' itu bisa diartikan bermacam makna, bergantung konteksnya dalam kalimat. 'Miring' bisa bermakna tidak lurus, bisa pula diartikan serong kiri serong kanan, bisa pula diartikan condong ke kiri atau condong ke kanan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata 'miring' bisa berarti:
1, sisi yang satu lebih tinggi dari sisi yang lain (tentang garis atau permukaan) rendah sebelah; tidak datar; landai; 2, tidak tegak lurus; condong; 3, senget; 4, agak gila, kurang waras, sinting; 5, agak murah.
Ketika Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR Sufmi Dasco Ahmad memprotes tindakan Bawaslu DKI memanggil Fadli Zon dan Zulkifli Hasan, saya langsung teringat kata ini. Miring....Sufmi Dasco Ahmad dari Partai Gerindra itu menggunakan logika miring dalam kasus ini.
Dia sudah tidak lurus lagi pemikirannya. Ini mengingatkan saya kepada tulisan Kompasianer Felix Tani, doktor sosiologi namun lebih senang menyebut dirinya seorang petani mardijker, yang menyebut " "politisi boleh bohong tapi tak boleh salah". Ungkapan itu sedikit membantu untuk memahami pernyataan ketua MKD itu.
Sebagai sesama anggota DPR, sesama anggota Partai Gerindra, sesama pendukung calon presiden nomor urut 02, pernyataan ketua MKD DPR itu yang mendasarkan protesnya pada "hak kekebalan anggota dewan" bisa dipahami.
Itu bukan berarti pernyataannya itu benar terkait "hak kekebalan anggota dewan". Bukan itu. Pernyataan itu benar sebagai politisi, yang tidak boleh salah membiarkan koleganya misalnya sampai divonis Bawaslu DKI Jakarta sebagai pihak yang melanggar aturan hukum berkampanye.
Karena itulah, kita tidak bisa menerima pendapat Sufi Dasco Ahmad dari Partai Gerindra itu sebagai kebenaran hukum. Karena memang tidak ada ketapan hukum yang memberikan keistimewaan seorang legislator bebas dari pemeriksaan Bawaslu karena "hak kekebalan anggota dewan yang melekat". Tidak ada itu.
Di dalam pelaksanaan pemilu, semua tahapannya termasuk kampanye, diatur dalam peraturan perundang-undangan dan tidak ada keistimewaan akibat adanya "hak kekebalan anggota dewan" itu. Kalau ketua MKD DPR tidak tahu itu, sungguh terlalu. Yang sangat mungkin terjadi adalah, Sufmi Dasco Ahmad itu tahu. Namun, dia tetap bersilat lidah karena sebagai politisi dia tidak boleh salah membiarkan koleganya terantuk hukum.
Sebagaimana diberitakan, Fadli Zon dan Zulkifli Hasan telah dipanggil Bawaslu DKI terkait kehadiran mereka di acara Munajat 212 lalu. Acara yang ditengarai sarat kepentingan politik untuk capres nomor urut 02 itu, yang heboh dengan doa perang Neno Warisman itu, kini ditangani Bawaslu DKI Jakarta.
Jikalau memang tidak ada masalah terkait kehadiran mereka di acara itu, mengapa pula Fadli Zon dan Zulkifli Hasan tidak dengan senang hati datang memenuhi panggilan Bawaslu DKI Jakarta itu. Tidak perlulah Sufmi Dasco Ahmad sampai mengeluarkan pernyataan semacam itu.
Sebagai tokoh politik, wakil ketua DPR dan ketua MPR seharusnya mereka memberikan contoh yang baik. Janganlah berlaku macam raja yang tidak bisa tersentuh. Apakah karena jabatan mereka lantas merasa diremehkan karena yang memanggil Bawaslu setingkat provinsi? Saya pikir kok naif sekali kalau mereka punya perasaan semacam itu.