Lihat ke Halaman Asli

mohammad mustain

TERVERIFIKASI

Siapa Stres Setelah "Brankas Swiss" Dibuka

Diperbarui: 6 Februari 2019   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto id.aliexpress.com

Minggu lalu, berseliweran informasi tentang Paradise Paper, dokumen tentang orang top, kaya, dan perusahaan yang berinvestasi di negara surga pajak, menghindar dari kewajiban bayar pajak di negara masing-masing. Ini sebenarnya dokumen yang telah beredar sejak 2017 lalu, setelah Panama Paper yang buat heboh itu. 

Nama orang Indonesia ada juga di dokumen itu, yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Keduanya, baik secara langsung maupun orang dekatnya, sudah sama-sama membantah atau menjelaskan keberadaan nama mereka di dokumen itu, yang intinya "tidak bersalah".

Seperti saat beredarnya dokumen Panama Paper dan dokumen sejenis lainnnya, pemberitaan tentang siapa saja yang sempat dapat julukan "pengemplang pajak" itu tidak begitu berdampak secara politik atau hukum. Orangnya masih baik-baik saja. 

Keadaan yang sungguh berbeda dibandingkan dengan di negara-negara Eropa misalnya, yang diwarnai pengunduran diri pejabat yang namanya tercantum di dokumen itu.

Namun, yang patut diingat, terbukanya beberapa dokumen yang terdiri atas jutaan lembar data itu, sedikit banyak berpengaruh atas upaya Indonesia dalam perburuan kekayaan gelap warga negaranya yang selama ini disembunyikan di negara-negara surga pajak. Setidaknya dokumen semacam itu melengkapi data yang telah ada.

Indonesia sendiri juga sudah tergabung ke dalam global Automatic Exchange of Information (AEOI). Sebuah kesepakatan atas keterbukaan informasi perbankan antarnegara yang tergabung di situ, memudahkan Indonesia untuk melacak rekening atau aliran uang yang mencurigakan baik terkait pajak, pencucian uang, ataupun hasil kejahatan.

Pencapaian pemasukan atau pendapatan negara yang melampaui target tahun ini (sebesar Rp 1.936 triliun atau lebih tinggi dari target APBN Rp 1.894 triliun) tentunya juga terpengaruh langkah itu, yang mengawali program tax amnesty. Bagaimana pun, pajak adalah nadi utama pembangunan Indonesia. 

Kalau ada warganya tidak taat bayar pajak dan malah menyembunyikan kekayaannya di luar negeri untuk menghindari kewajiban bayar pajak, itu kejahatan terhadap negara.

Upaya pengejaran terhadap kekayaan para pengemplang pajak itu terus berlangsung hingga kini, tidak berhenti begitu saja setelah program tax amnesty usai. Kompas.com hari ini menurunkan berita headline berjudul "Pelacakan Dana Gelap Milik WNI yang Disimpan di Swiss Kini Lebih Mudah" [1[  Di berita itu disebut tax amnesty 2016 menghasilkan deklarasi harta kurang lebih Rp 4.800 triliun. Terdiri dari Rp 3.800 triliun deklarasi dalam negeri, Rp 1.000 triliun deklarasi luar negeri, dan Rp 145 trilun repatriasi.

Sedangkan menurut Tax Justice Network, setidaknya terdapat sekitar 331 miliar dollar AS (Rp 4.600 triliun) harta orang Indonesia di luar negeri. Dengan demikian masih terdapat harta senilai sekitar Rp 3.500 triliun yang belum diikutsertakan dalam pengampunan pajak.

Untuk itulah Indonesia mengadakan perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dengan beberapa negara, salah satunya dengan Swiss negara yang dikenal sangat ketat menjaga kerahasian perbankannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline