Nama desa itu Goa Terus. Sebuah desa yang diapit tebing batu tinggi menjulang. Sebagian tebing itu yang disebut Watu Lawang, berkelak-kelok mengapit jalan raya provinsi. Lepas dari tebing dan jalan raya, hutan jati mengelilingi desa ini. Sementara mulut Goa Terus, cikal bakal nama desa ini, dari jalan raya tampak terlihat di salah satu tebing.
Tak hanya tebing dan goa yang menarik di sini. Ada sebuah sungai memanjang berkelok-kelok juga, yang dipenuhi batu-batu besar, yang airnya tak kering sepanjang tahun karena di kiri kanan sungai itu terdapat banyak sumber mata air. Yang terbesar bernama Krawak yang diapit pepohonan hutan. Inilah spot river tubing atau ngintir kali menggunakan ban yang sedang ramai di desa ini.
Ke sanalah tujuan saya Sabtu kemarin. Sayang, anak lanang yang sebelumnya berencana menemani, batal ikut. Jadilah saya meluncur sendiri ke Goa Terus, Kec. Montong sekitar 28 km dari Kota Tuban. Lokasinya tak jauh dari Goa Putri Asih, goa eksotik yang masih "hidup" dan cukup terkenal itu. Kebetulan pengelolanya sama yaitu komunitas pendekar Goa Terus.
Terus terang, saya awalnya tidak tahu tentang komunitas pendekar itu. Yang saya tahu, di Goa Terus Kecamatan Montong Tuban itu ada wisata arung sungai dengan ban atau river tubing. Namun, yang menyambut saya di posko river tubing ternyata komunitas ini. Akhirnya saya dapat juga cerita tentang mereka, dari Heri Prasetya komandan tim river tubing.
Rupanya, di sana ada empat komunitas pendekar yang bersepakat untuk damai dan rukun: PSH Teratai, PS Kera Sakti, Margo Luyu, dan Bunga Islam. Kesepakatan itu mereka buat karena seringnya terjadi bentrok antarpendekar di daerah lain, yang berimbas ke desa mereka.
Daripada ikut berantem, mereka membuat aktivitas bersama yang berwujud tim tanggap bencana, kotak tabungan akhirat, dan menjadikan desa mereka sebagai desa wisata. Ini terjadi hampir tiga tahun lalu. Dari situlah Goa Putri Asih yang sempat ditutup, diizinkan dibuka kembali. Dan, Oktober 2016 lalu mereka mulai menggarap wisata river tubing.
Karena penasaran, saya bertanya apakah di antara para pendekar yang mengelola wisata river tubing ini sebelumnya sudah profesional di bidang ini, ternyata tidak ada. Mereka semua berasal dari kominitas pendekar di desa itu. Hanya saja mereka mendapat pelatihan khusus dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Sementara untuk perlengkapan keselamatan dan permodalan, mereka mendapat bantuan dari BAZNAS. Itu memang terlihat dari baju pelampung yang beruliskan BAZNAS. Rupanya, mereka telah membentuk koperasi yang antara lain mengelola tempat wisata Goa Putri Asih bersama Perhutani, usaha kerajinan bambu, peternakan burung dara, dan wisata river tubing itu.
Soal Goa Putri Asih saya sudah pernah menulisnya di Kompasiana.(goa putri asih). Tapi soal river tubing ini belum pernah, walau sudah mulai ramai sejak pertengahan 2017. Baru sekitar dua minggu lalu, entah kok tiba-tiba ada keinginan menulisnya. Kebetulan anak lanang ada di Tuban, jadi saya pikir bisa menemani. Karena kalau ngajak istri, wisata ini terlalu berat untuknya. Eee...ladalah anak lanang tak jadi ikut juga.
Ya...tak apalah yang penting masih bisa jalan-jalan dan menulis, tentunya juga basah-basahan. Namun, lagi-lagi sayang, karena terburu-buru saya lupa tak bawa pakaian ganti sehingga tak bisa ikut ngintir sungai dan hanya foto-foto untuk menunjang tulisan ini. Tapi memang agak repot juga sih, kalau harus memotret sekaligus ngintir sungai. Lain kali masih ada kesempatan (#menghibur diri).
Untuk menikmati wisata ini , rata-rata pesertanya sudah pesan tempat dulu. Umumnya mereka memilih waktu akhir pekan atau masa liburan. Tapi banyak juga yang langsung datang. Asal memenuhi syarat minimal 10 orang, wisata ini bisa dinikmati dengan tarif Rp 50 ribu per orang, atau Rp 75.000 jika ditambah acara makan bersama dengan menu utama burung dara.