Penutupan rapat paripurna DPR masa sidang ke-5 tahun 2016/2017, minggu lalu dilakukan tanpa Setya Novanto menyampaikan pidato. Ada bantahan ketidakhadiran Setya Novanto itu terkait kasus korupsi E-KTP.
Sebelumnya, Setya Novanto terkesan sembunyi-sembunyi ketika memasuki gedung wakil rakyat dalam kapasitasnya sebagai ketua DPR. Di beberapa acara lain, dia juga berlaku serupa. Dalam sidang kasus korupsi E-KTP, Setya Novanto yang dijadikan saksi dalam perkara itu, juga sudah dua kali tidak hadir dengan alasan kesehatan dan sibuk bekerja.
Ruang gerak Setya Novanto di area publik seolah dibatasi paska dia menyandang tersangka kasus korupsi E-KTP, dicekal ke luar negeri, menang praperadilan sehingga sementara ini dia lepas dari status tersangka. Ini masih ditambah lagi kasus masuk rumah sakit akibat sakit yang menimbulkan banyak cemooh dan lahirnya banyak meme "menggelikan, memprihatinkan, dan menyentuh nurani itu".
Dan, kini di tengah jalan "senyap" kehadirannya di ruang publik, Setya Novanto melakukan serangan balik dengan melaporkan puluhan pengunggah meme "yang menggelikan, memprihatinkan, dan menyentuh nurani itu" (yang di antaranya memakai setting saat dia dirawat di Rumah Sakit Premier Jakarta Timur) ke polisi.
Sebuah foto yang memperlihatkan Setya Novanto sedang menggunakan masker yang umumnya digunakan untuk pasien yang mengalami gangguan tidur, memang sempat viral dan mengundang cemooh di media sosial. Ini tentu tak lepas dari tren para tersangka koruptor yang suka masuk rumah sakit atau umroh. Jadi, masyarakat dengan cepat merespon foto Setya Novanto itu sebagai "akal-akalan".
Sebuah reaksi yang wajar, yang diakibatkan makin pesimisnya masyarakat akan penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih. Modus-modus para koruptor atau tersangka kejahatan lain yang punya "power" dan uang tentu telah terpatri di benak masyarakat: dirawat di rumah sakit atau berangkat ibadah umroh.
Bayangkan saja, untuk dirawat di rumah sakit semacam RS Premier itu tarifnya bukanlah murah. Kelas VVIP Rp 2.900.000, kelas suite room Rp 2.050.000, kelas mini VIP Rp 1.400.000, kelas satu Rp 1.150.000, kelas dua Rp 750 ribu, dan kelas tiga Rp 310 ribu. [1] Untuk umroh, apalagi bersama keluarga tentu juga perlu biaya besar, terlebih jika tidak balik-balik seperik Riziek itu.
Secara formal, dengan kekuasaan politik yang dipegangnya saat ini, Setya Novanto bisa disebut sementara telah menang dalam "perseteruannya" melawan KPK dalam perkara korupsi E KTP itu. Munculnya istilah Hari Kesaktian Setya Novanto pada 29 September lalu, berdasarkan penilaian ini.
Pada Jum'at 29 September 2017 sore, hakim Cepi Iskandar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, memang memenangkan gugatan praperadilan Setya Novanto atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebuah keputusan kontroversial yang mengundang kecaman dan kemarahan.
Namun, benarkah Setya Novanto telah memenangkan pertempuran melawan KPK dalam perkara korupsi E-KTP itu? Menurut saya, Setya Novanto justru telah kalah sebelum putusan itu dijatuhkan. Keputusan Cepi Iskandar merupakan puncak dari kekalahannya. Secara hukum formal dia sementara bebas dari status tersangka, namun di luar itu dia telah kalah yang ditandai dengan kemarahan rakyat atas putusan Cepi itu.
Ketika Setya Novanto memutuskan menginap di rumah sakit dengan alasan sakit komplikasi yang gawat, masyarakat sudah menertawakan dia di medsos. Saat fotonya yang memakai alat bantu pernafasan dan aneka peralatan kesehatan itu muncul di media, sontak foto menjadi viral. Apakah ini sebuah kemenangan bagi dia? Tidak. Setya Novanto sudah kalah secara psikis dan politis karena akar rumput massa telah terbakar emosinya.