DPR telah mengesahkan Perppu Ormas menjadi undang-undang. Meski melalui mekanisme voting dan tidak tercapai suara bulat (juga disertai catatan agar UU baru segera direvisi beberapa pasalnya terkait sanksi hukuman seumur hidup, penodaan agama, dan tetap dilibatkannya pengadilan dalam proses pembubaran ormas), pemerintah sudah punya senjata ampuh menghadapi ormas radikal.
Seharusnya, meski kemarin massa yang suka membawa bendera hitam dengan tulisan arab warna putih namun ada juga yang mengibarkan bendera putih bertulisan arab warna hitam itu tetap unjuk kekuatan di depan gedung DPR, ormas-ormas garis keras yang suka buat aksi itu wajib untuk mulai merasa ketar-ketir. Siapa mereka? Daftarnya sudah ada dan masyarakat sudah banyak hafal di luar kepala.
Bisa saja sih, mereka tetap bandel dan memberikan perlawanan, terlebih ada tiga parpol yang menolak Perppu Ormas disahkan jadi undang-undang. Celah itu tentu akan saling memanfaatkan dan dimanfaatkan semacam simbiosa mutualisme itu. Jadi, modal hajatan hura-hura menyongsong dan meramaikan tahun politik tetap akan ngetren setelah pengesahan Perppu Ormas menjadi undang-undang.
Sedari awal para penolak Perppu Ormas pasti sudah sadar kalau mereka kalah jumlah dan DPR pasti akan mengesahkannya menjadi undang'undang. Mereka yang tetap unjuk kekuatan di depan DPR itu bisa dinilai sekedar menunjukkan eksistensinya, bahwa mereka ada. Parpol macam Gerindra, PAN, dan PKS pasti mahfum akan hal itu. Inilah kue untuk bekal tahun politik yang tak boleh mereka abaikan, utamanya untuk menghadapi kekuatan Jokowi yang makin "greng" saja karena "obat kuatnya" datang dari mana-mana.
Dengan begitu, meski sudah punya senjata untuk menghadapi ormas-ormas garis keras, jika pemerintahan Jokowi tidak gerak cepat menyasar ormas selain HTI yang sudah masuk daftar, keberadaan undang-undang baru kurang berdaya guna. Jadi, seharusnya, omongan bahwa akan ada ormas lain selain HTI yang juga akan dilarang, segera dibuktikan.
Memang, jika langkah ini diambil tentu akan punya dampak. Itu wajar saja. Para anggota dan pendukung ormas yang akan dilarang itu pasti akan menggelar hajatan hura-hura di jalan-jalan dan area publik lainnya atas nama demokrasi. Jadi memang harus dikalkulasi secara matang untung ruginya.
Bisa saja, muncul pemikiran untuk memberi tambahan umur bagi ormas semacam itu. Mereka baru dihabisi betulan setelah Jokowi menjabat presiden untuk kedua kalinya. Pertimbangan politis sering terbukti mengalahkan penerapan hukum positif. Namun, jangan juga dilupakan, selama umur masih melekat, ormas garis keras semacam itu tentu tak akan diam. Mereka tetap memanfaatkan momentum tahun politik untuk beraksi.
Karena itulah, energi kepolisian seharusnya dicurahkan untuk mengantisipasi dan mengatasi persoalan tahun politik ini, yang tentunya bukan persoalan yang sepele dan mudah diatasi. Niat membentuk densus tipikor itu kok terasa agak nyleneh di tengah situasi saat ini. Seharusnya persoalan itu diserahkan ke KPK dan kepolisian kalau memang punya kepedulian, wajib membekingi KPK. Bukankah Presiden Jokowi sudah berulang kali menyatakan KPK harus diperkuat?
Dengan pemikiran menghadapi tahun politik yang tidak ringan permasalahannya itu, dan telah disahkannya Perppu Ormas menjadi undang-undang, kabar Prof Dr Din Syamsudin telah dilantik sebagai utusan khusus presiden untuk dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban, baik di dalam maupun luar negeri, cukup menarik untuk dikaji. Menarik karena Din adalah salah satu tokoh yang cukup dekat dengan aksi-aksi massa sebelum ini.
Terlebih lagi, sebelumnya dia juga telah disebut sebagai salah satu Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) namun batal dan digantikan ketua PBNU Said Aqil Siraj, 2 Juni lalu. Batalnya Din Syamsuddin menjadi pengarah UKP PIP itu sempat menimbulkan banyak spekulasi.
Hal itu wajar karena mantan ketua umum Muhammadyah yang kini menjabat ketua Dewan Pertimbangan MUI itu sering tidak sepaham dengan pemerintahan Jokowi. Pada saat aksi massa dengan nomor-nomor cantik beberapa waktu lalu, misalnya Din terlibat aktif di dalamnya.