Daripada dipendam dan bisa mengganggu keseimbangan nalar sehat, lebih baik dikeluarkan saja. Kalimat itu mungkin cocok untuk menggambarkan kegelisahan saya melihat sepak terjang Anies Baswedan dan "bolo Kurowo" serta "bolo Sengkuninya".
Kalimat itu mungkin terlalu keras. Tetapi, perubahan sikap Anies yang kini maju jadi cawagub DKI Jakarta itu juga terlalu keras. Dari sosok yang humanis, yang ber-Bhineka Tunggal Ika, yang toleran atas keberagaman dan mengecam sikap ekstrem kelompok intoleran, Anies kini malah masuk ke dalam barisan kelompok yang dikecamnya itu.
Dia sudah "mlungsungi" jadi sosok yang mengusung kebenaran politik dan perlahan tapi pasti telah menanggalkan kebenaran nurani dan kemanusiaan yang sebelumnya dia perjuangkan dan sebarkan. Anies telah secara sukarela "sowan" dan masuk ke kubu Rizik Cs yang secara jelas dan tegas, mengobarkan semangat intoleran, dan bahkan "tega" mempolitikkan urusan yang paling sensitif dan menyentuh sisi kemanusiaan yang paling dalam, yaitu peristiwa kematian.
Pernyataan tidak akan mensholati jenazah pendukung Ahok atau ulama yang tidak mau datang menenuhi undangan ke wilayah yang penduduknya mendukung Ahok (walau tidak jelas ulama model apa itu) menunjukkan arogansi sikap beragama yang sesat. Kata orang alim, gara-gara sikap anti-Ahok, mereka lupa kepada mengajinya. Itu juga kalau mengaji; bisa jadi sekedar njeplak saja yang dibungkus baju Islam.
Anies boleh berkilah bahwa apa yang dilakukan dan disuarakan kelompok Rizik itu tidak serta merta sama dengan pandangan dan sikapnya sebagai manusia yang ber-Tuhan. Tetapi, sikap diamnya sejak aksi massa digelorakan menyongsong Lebaran Kuda itu, menunjukkan Anies tak keberatan dengan hal itu. Kedatangannya ke kubu Riziek dan sikap diamnya atas perilaku intoleran itu menunjukkan dia tidak keberatan ada di dalam gerbong kelompok intoleran itu, yang dulu dikecamnya.
Jika memang benar Anies tidak berubah alias tidak mlungsungsi paska jadi cagub DKI Jakarta, tentu dia tetap konsisten menentang sikap intoleran. Artinya, kalau ada perilaku dari kelompok Rizik Cs yang intoleran, dia tetap berani menentangnya seperti dulu. Tetapi, kenyataannya Anis "cep klekep" alias diam seribu bahasa, bahkan dengan tawadhuk sowan ke Rizik dan majelisnya.
Sulit dibayangkan, bagaimana orang semacam dia akan memimpin ibu kota negara. Kekhawatiran akan berjayanya sikap intoleran seperti di insiden Monas beberapa tahun lalu, atau mungkin beraksinya kembali pentung-pentung liar "bercap surga" itu, pantas saja muncul kembali. Dan yang pasti, jika gubernurnya diam dan telah terikat secara batin dan juga perjanjian timbal balik atas dukungan dalam pilkada, tentu sulit mengharapkan seorang Anies bisa bersikap atas perilaku intoleran.
Bisa saja, sikap diam dan tawadhuk-nya Anies kepada kelompok Rizik itu hanyalah strategi untuk memenangkan Pilkada. Setelah menang pilkada dan jadi gubernur, Anies bisa kembali ke sosok sebelumnya. Artinya, dia kini sedang mengikuti arus kebenaran politik dan bermain di dalamnya. Jadi, Anies sekarang ini sedang memainkan perannya sebagai politikus.
Apa sesederhana itu. Rasanya kok tidak. Anis sebenarnya sudah lama jadi politikus. Dia pernah ikut konvensi capres Partai Demokrat, pindah ke gerbong, kembali ke habitat dunia pendidikan sebagai menteri. Setelah dicopot Jokowi, dia kembali jadi politikus lagi sebagai cagub DKI Jakarta.
Sebagai politikus dia tentu paham betul jargon "tidak ada makan siang gratis". Karena itu, sikap diamnya, sowannya dia ke Riziek, dan sikap tawadhuknya ke majelis Riziek tentu punya konsekuensi dan imbal balik. Itu semua tidak gratis dan pasti akan dibayar seandainya dia jadi gubernur DKI Jakarta. Jadi, Anies jelas tidak akan bisa lepas dari jerat dan bayang-bayang kelompok Rizik yang dinilai intoleran itu.
Persoalan Anies Baswedan berada di dalam barisan kelompok intoleran ini lebih memprihatinkan dibanding"tipu-tipu rumah DP 0 persen" yang terus bermetamorfosis dan akhirnya mungkin jadi rumah gratis di planet Mars itu. Kalau soal rumah, rusun, atau entah akan jadi apa lagi itu, yang di-PHP-in mungkin rakyat kecil berpenghasilan Rp 2 - 2,5 juta per bulan yang disuruh mengangsur Rp 2,3 juta per bulan (absurd).