Oalah... oalah. Alangkah ramainya (lucunya) negeriku. Demo jadi kerjaan, api korupsi tak kunjung padam, pemimpin jadi tontonan, hantu PKI jadi tuduhan, pemimpin ramai-ramai cari perhatian, yang jadi maling teriak maling, rakyat gelisah tapi belum terkencing-kencing. Ini fenomena musiman ataukah anomali cuaca politik yang tak berkesudahan, belum ada kata sepaham untuk upaya penghentian.
Keramaian itu makin menjadi setelah SBY curhat ke Tuhan lewat twitter dan Fahri Hamzah mentwit "mengemis menjadi babu di negeri orang" untuk menyebut kondisi para TKI kita di luar negeri. Akibatnya, sudah pasti, baik SBY maupun Fahri Hamzah panen sindiran dan kecaman. Itulah kalau pemimpin dan pejabat lupa atau tidak paham siapa jati dirinya.
Orang Jawa mengenal istilah "empan papan" atau tempatkan sesuatu pada tempatnya. Penjelasannya sederhana. Misalnya, celana itu dipakai untuk menutup bagian tubuh ke bawah, baju untuk menutup bagian tubuh tengah ke atas. Celana dalam dipakai untuk menutup organ vital di dalam, demikian juga BH untuk organ vital bagian dada. Jadi semua menempati bagian masing-masing.
Bagaimana jika celana dalam dan BH justru dikenakan di luar setelah mengenakan celana atau baju? Itu jelas tidak "empan papan" tapi lebih cocok disebut Superman dan Supergirl. Mudah kan, pengertiannya.
"Empan Papan" juga berlaku pada perilaku manusia sesuai kedudukan dan statusnya di tengah kehidupan masyarakat dan negara. Kalau jadi guru, berlakulah seperti guru. Kalau jadi prajurit berlakulah seperti prajurit, kalau jadi pejabat berlakulah seperti pejabat, kalau jadi pemimpin berlakulah seperti pemimpin. Setiap kedudukan, status, atau profesi tentu mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing.
Kedudukan mempunyai masa kadaluwarsa. Artinya, pada waktunya kedudukan bisa lepas karena suatu sebab alami atau tidak, diberhentikan atau pensiun. Ketika kedudukan lepas, maka seseorang harus bisa menempatkan dirinya pada situasi baru itu. Misalnya jadi pensiunan prajurit, pensiunan guru, pensiunan pejabat anu, atau mantan presiden, dan mantan-mantan yang lain.
Bisa menempatkan diri pada situasi baru itu memang terkadang tidak mudah, karena adannya kecenderungan post power syndrome. Tetapi, umumnya manusia-manusia tangguh bisa melewati masa itu dengan mulus. Mereka tetap menjalani hidup dengan semangat dan sikap untuk berbuat kebaikan untuk masyarakat, bangsa, dan negaranya, sesuai kemampuan yang dimilikinya.
Terlebih lagi bagi seorang pemimpin, yang tidak mengenal kata pensiun. Sebagai pemimipin, dia adalah pemecah masalah bagi bangsanya, pendorong dan pemberi harapan kebaikan bagi masyarakat luas. Pemimpin jelas bukan jadi beban bagi rakyat, menimbulkan masalah bagi rakyat, mendorong munculnya sikap was-was, rasa tidak aman, atau pesimis dalam menjalani kehidupan.
Negarawan, terlebih lagi. Hidup, pemikiran, serta perjuangannya dicurahkan bagi kebaikan, kemajuan, dan keutamaan bangsa dan negaranya. Pemimpin masih bisa tersekat dalam kepentingan politik praktis dan golongan. Negarawan tidak. Dia menempatkan dirinya lepas dari itu semua, terlebih kepentingan sempit dinasti keluarganya.
Dari sisi pandang inilah, baik SBY maupun Fahri Hamzah tidak bersikap "empan papan". Keduanya salah menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan pejabat. Ibaratnya mereka telah salah kamar saat mengungkapkan pikiran dan perasaan lewat twitter. Akibatnya tentu tidak sederhana karena SBY mantan presiden sementara Fahri Hamzah seorang wakil ketua DPR.
Kalau seorang lelaki salah masuk toilet wanita di tempat umum, yang penuh dengan wanita, mungkin hanya sorak sorai dan kecaman muncul. Atau, paling apes digebuki karena dituduh cabul. Tetapi seorang mantan presiden dan seorang wakil ketua DPR yang "salah kamar" dalam bertindak bisa menimbulkan akibat yang lebih serius dari itu.