Mungkin bagi politisi, bencana banjir bandang yang melanda Garut Selasa malam lalu kurang begitu menarik. Warga ibu kota juga lebih fokus perhatiannya pada Pilgub DKI setelah Ahok-Djarot resmi didaftarkan ke KPU, koalisi Cikeas menampilkan "putra mahkotanya" Agus Harimurti yang dipasangkan dengan Sylviana Murni, dan koalisi Kertanegara mengajukan nama Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Mungkin, berita bencana itu tidak terlalu menyita perhatian, meski sejak Kamis hingga Jumat hari ini sudah mulai jadi perhatian ekstra media dengan menjadikannya laporan utama. Sebelumnya, gaung bencana banjir bandang Garut relatif sunyi dibanding persidangan kasus tewasnya Mirna Salihin, yang menjadikan Jesica sahabatnya sebagai terdakwa, karena mentraktir kopi Vietnam yang diduga jadi penyebab kematian Mirna.
Mungkin pula, berita ini bagi sebagian orang kurang menarik dibanding berita saat Presiden Jokow "minder" melihat harga domba aduan Garut yang harganya sangat mahal itu. Mengapa demikian, karena kata domba aduan yang erat dengan kata adu domba itu mungkin terdengar nyambung dengan suasana paska Pak SBY mengkritik kebijakan maritimnya.
Atau barangkali, karena bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, kebakaran hutan, gempa bumi, letusan gunung api seperti jadi kejadian rutin, yang tak membuat kita tak terkaget-kaget lagi. Sepertinya, negeri kita ini memang negeri yang tak pernah sepi dari bencana sehingga masyarakatnya "dipaksa" terbiasa dan menerima kejadian itu tanpa terkaget-kaget lagi.
Meskipun demikian, tak ada salahnya untuk membaca alarm bahaya dari bencana banjir bandang di Garut, daerah kuno tempat situs gunung Padang; kabupaten yang menempati peringkat pertama indeks rawan bencana secara nasional pada 2013 lalu. Dari 42 kecamatan yang ada di kabupaten ini, tak satu pun yang aman dari bencana meski tingkatnya bervariasi.
Ada beberapa fakta terkait bencana banjir bandang Garut ini:
Pertama, sebelum kejadian Selasa malam lalu, Garut tahun ini sudah mendapat peringatan tiga kali banjir bandang meski skalanya lebih kecil. Namun, tiga kali banjir bandang itu tak nengubah keadaan saat banjir bandang besar datang yang menewaskan 23 jiwa itu. Peringatan alam itu tak mendapatkan tanggapan dengan kesiapan dan perbaikan untuk mencegah bencana yang lebih besar.
Kedua, kerusakan dan sedimentasi di aliran Sungai Cimanuk, sudah lama diketahui. Banyak lahan berubah jadi kawasan permukiman dan wisata. Demikian juga kerusakan di hulu sungai akibat perubahan fungsi lahan dan penggundulan hutan. Kawasan hutan yang jadi daerah resapan air, banyak yang berubah jadi lahan pertanian. Tak ada upaya serius untuk memperbaiki kerusakan itu dan mengerem laju perusakan oleh warga yang terus terjadi.
Ketiga, daerah aliran sungai yang diduduki untuk permukiman "seolah" dibiarkan dan malah ada kebijakan mengubah peta tata ruang yang menjadikan kawasan ilegal itu akhirnya menjadi legal. Ketika masalah ini terabaikan dan bertambah dari hari ke hari, tahun ke tahun, daerah aliran sungai menjadi padat oleh permukiman dan sangat sulit ditertiban. Dan saat sungai mengamuk menghempas dan menerjang daerah aliran sungai, bencana seperti banjir bandang Selasa malam itu tak bisa dielakkan.
Keempat, Pemda Garut sadar benar daerahnya sangat rawan bencana. Banjir, tanah longsor, angin puting beliung adalah kejadian yang hampir rutin terjadi. Namun, keadaan itu ternyata tak menggerakkan hati untuk menyusun tata ruang yang lebih baik, melakukan reboisasi masal yang berkesinambungan, juga menata kembali daerah aliran sungai dan upaya pencegahan longsor, erosi, dan sedimentasi di daerah aliran sungai.
Fakta itu terungkap setelah banjir bandang terbesar yang dialami Garut di era modern ini, Selasa malam lalu. Fakta itu adalah pelajaran berharga bagi Garut sendiri dan juga daerah lain, yang punya potensi bencana serupa.